Jumat, 19 Agustus 2016

SEJARAH PENDIDIKAN HINDIA BELANDA


Sejarah perkembangan pendidikan di Indonesia dapat dilacak kembali pada masa kedatangan dan pengaruh kegiatan bangsa Portugis dan Belanda abad ke-16 dan ke-17. Bangsa Portugis memperlihatkan semangat yang tinggi untuk kolonisasi dan usaha misi. Berlainan dengan bangsa Belanda, mereka lebih ingin untuk menyebarkan agama, bahasa, dan kebudayaan mereka di kalangan orang Indonesia. Pada tahun 1602, VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) datang di Indonesia sebagai suatu perkumpulan dagang. VOC melibatkan diri dalam kegiatan misi terutama di wilayah-wilayah bangsa Portugis telah menyebarkan agama Katholik. Strategi VOC adalah mendirikan sekolah-sekolah yang bersifat elementer dan bercirikan agama. Ketika VOC dibubarkan pada tanggal 31 Desember 1799, pendidikan tidak berkembang akan tetapi menunjukkan kekosongan. Pada lima dekade pertama abad ke-19, pendidikan hanya disediakan untuk anak-anak Belanda, terutama anak Indo-Belanda, yang bertujuan untuk menumbuhkan kesadaran akan kebangsaannya sebagai orang Belanda.
Perang Diponegoro yang terjadi pada tahun 1825-1830 menyebabkan finansial pemerintah Belanda melemah. Gubernur Jenderal van Den Bosch mencanangkan Sistem Tanam Paksa (cultuurstelsel) untuk mengatasi kemerosotan finansial pemerintah Belanda. Sistem Tanam Paksa merupakan suatu kebijakan untuk mengeksploitasi besar-besaran hasil perkebunan. Hal ini mendorong pemerintah Belanda untuk memberikan pendidikan kepada orang pribumi, terutama golongan atas, yang bertujuan mendidik pegawai untuk mengawasi perkebunan pemerintah.
Pendidikan cepat berkembang di bawah menteri jajahan yang liberal, Fransen van de Putte. Perkembangan perusahaan-perusahaan asing sebagai akibat Undang-Undang Agraria pada tahun 1870, disamping melonjaknya ekonomi, juga memungkinkan perluasan pendidikan. Krisis ekonomi tahun 1880-an menyebabkan kemerosotan kemajuan pendidikan. Selanjutnya, untuk lebih jelas akan dibahas mengenai perkembangan pendidikan Indonesia pada masa kolonial Belanda, pendudukan Jepang dan pasca kemerdekaan.
Awal abad ke-19, kebijaksanaan pendidikan pemerintah kolonial Hindia Belanda masih lebih banyak berupa rencana daripada tindakan nyata. Pada tahun 1816, peraturan pemerintah tentang persekolahan dan sekolah dasar lebih ditujukan pada kepada pendidikan orang-orang Belanda saja. Peraturan pemerintah yang dikeluarkan tahun 1818, sama sekali tidak menyinggung mengenai untuk anak pribumi. Pemerintah Hindia Belanda baru mulai menangani pendidikan pribumi secara sungguh-sungguh pada tahun 1848.
Pendirian sekolah dasar pertama Belanda dilakukan pada tahun 1864 dengan nama ELS (Europeesche Lagere School). Sekolah ini dibuka khusus untuk golongan bangsawan, yang memiliki kedudukan di pemerintahan atau dalam stratifikasi sosial masyarakat. Dalam perkembangannya pada tahun 1893, terjadi penggolongan sekolah pribumi. Sekolah tersebut dibagi menjadi 2 jenis, yaitu Sekolah Dasar Kelas Pertama (eerste klasse) yang diperuntukkan kelas bangsawan dan Sekolah Dasar Kelas Kedua (tweede klasse) untuk masyarakat biasa.
Sekolah Dasar Kelas Pertama yang ditujukan untuk pelayanan pendidikan bagi anak-anak golongan bangsawan, kemudian menjadi HIS (Holland Inlandsche School). Bagi masyarakat pribumi, pemerintah Belanda membuka HIS yang bisa menerima siswa yang berasal dari berbagai kalangan. HIS memiliki kurikulum yang berdasarkan pada model sekolah ELS. Salah satunya adalah dengan penggunaan bahasa Melayu atau bahasa lokal setempat. Pengajaran ini mengalami perubahan ketika siswa memasuki tingkat lanjutan, bahasa yang diajarkan adalah bahasa Belanda. Hal ini menunjukkan bahwa pembukaan Volksscholen (sekolah rakyat) merupakan langkah penting bagi pemerataan pendidikan.
Perkembangan pendidikan dan pengajaran sampai akhir abad ke-19 di Hindia Belanda memperlihatkan kecenderungan yang dipengaruhi oleh politik pendidikan pada khususnya dan kebudayaan pada umumnya. Pada akhir abad 19, pemerintah kerajaan Belanda menghapuskan Sistem Tanam Paksa dan persewaan tanah oleh negara. Sebagai gantinya, perlu adanya politik baru. Haluan politik baru itu banyak dipengaruhi oleh ide van Deventer, seorang etikus dengan tulisannya yang terkenal yaitu Hutang Budi. Idenya didasari atas pandangannya terhadap politik penghisapan yang tak mensejahterakan rakyat. Ide van Deventer juga disebabkan oleh para pengusaha swasta yang menuntut hak yang sama untuk bisa menanam modalnya di Hindia Belanda. Kebijakan tersebut disebut Politik Etis (Trias van Deventer) yang berisi irigasi, edukasi dan imigrasi. Ketiga program ini ditujukan untuk mensejahterakan masyarakat pribumi.
Salah satu bagian Politik Etis adalah edukasi (pendidikan) bagi bangsa pribumi. Perkembangan bidang pendidikan tidak bisa dilepaskan dari keterlibatan para pembesar Belanda terutama yang beraliran liberal untuk menanamkan pentingnya pendidikan kepada masyarakat pribumi. Perusahaan-perusahaan Eropa di Hindia Belanda mengalami kemajuan pesat, sehingga membutuhkan para pekerja terdidik dan memiliki keahlian tertentu atau administratur pribumi.
Di bawah pimpinan J. H. Abendanon selaku Direktur Pendidikan, Agama dan Industri (Department van Onderwijs, Eerendienst en Nijverheid) pada tahun 1900-1905, pemerintah kolonial memperluas akses pendidikan bagi anak-anak pribumi dan golongan lain. Hal ini tercermin dari pendirian sekolah-sekolah tingkat lanjutan. Dengan demikian, murid yang mengenyam pendidikan dasar dapat meneruskan pendidikannya ke tingkat yang lebih tinggi. Beberapa warga pribumi yang beruntung, bisa memperoleh kesempatan untuk melanjutkan pendidikan ke negeri Belanda. Pilihan lain bagi warga pribumi setelah menamatkan pendidikan dasar bisa pula memasuki ujian pegawai sipil rendahan (Kleinambtenaaren) untuk bisa memasuki posisi terendah dalam birokrasi pemerintah Hindia Belanda.
Pendidikan barat di Hindia Belanda mengalami perkembangan dengan banyaknya sekolah yang dibuka untuk masyarakat pribumi. Pada tahun 1900 ada tiga sekolah untuk para calon pimpinan masyarakat (Hoofdenscholen) yang berada di Bandung, Magelang dan Probolinggo yang dijadikan OSVIA. Pendidikan merupakan sarana bagi pemerintah Hindia Belanda untuk memperoleh tenaga-tenaga birokrat di tingkat daerah untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan kolonial. Lulusan pendidikan dasar Belanda tersebut juga bisa meneruskan pada jenjang yang lebih tinggi. Pada pendidikan lanjutan ini pemerintah kolonial mendirikan HBS (Hoogere Burgere School) dan Lyceum yang setara dengan sekolah menengah atas. Dalam tingkatan ini, siswa mendapatkan kurikulum yang lebih sulit dengan standar yang juga lebih tinggi, sehingga tidak heran bahwa kelulusan pada HBS dan Lyceum cenderung rendah.
Pemerintah Belanda pada tahun 1914 kemudian mendirikan MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) sebagai cara untuk memberikan kesempatan bagi rakyat pribumi memperoleh pendidikan lanjutan. Kurikulum sekolah ini mengajarkan pula bahasa Melayu. Para lulusan MULO dapat melanjutkan ke sekolah dagang maupun akademi-akademi yang dimiliki oleh pemerintah Belanda. Perkembangan selanjutnya, pemerintah Belanda membuka sekolah lanjutan bagi masyarakat pribumi yang lulusannya bisa memperoleh bekal ilmu untuk meneruskan ke universitas. Jenjang pendidikan ini dinamakan sebagai AMS (Algeemene Middelbare School) yang resmi berdiri pada 1918. Pada tingkat pendidikan ini, siswa dibekali dengan sejumlah pengetahuan yang dapat menyiapkan mereka memasuki perguruan tinggi. Lembaga setingkat universitas yang didirikan oleh Pemerintah Belanda adalah untuk menampung para lulusan AMS yang ingin memperoleh pekerjaan yang lebih tinggi daripada hanya sekedar menjadi pegawai rendahan pemerintah Belanda. Wacana ini sejalan dengan mulai munculnya banyaknya putra-putra pribumi yang meneruskan pendidikan ke negeri Belanda. Pemberian dana bantuan pendidikan ke Belanda bagi putra-putra pribumi juga turut memperluas kesempatan mengenyam pendidikan tinggi.
Sekolah setara pendidikan tinggi yang pertama kali dibuka adalah sekolah juru kesehatan bumiputra atau yang lebih terkenal dengan Sekolah Dokter Jawa (School voor Inlandsche Geneeskundige). Sekolah ini kemudian berkembang menjadi STOVIA (School tot Opleiding van Inlandsche Artsen) yang memiliki masa studi 3 tahun untuk persiapan dan 6 tahun masa perkuliahan. Sekolah ini kemudian menjadi media Perguruan tinggi di nusantara yang dibangun oleh pemerintah Belanda meliputi berbagai bidang ilmu antara lain teknik, hukum, kedokteran dan sastra. Pendirian kampus-kampus tersebut berusaha untuk menampung minat lulusan sekolah menengah yang jumlahnya tidak seberapa dari AMS. Sekolah-sekolah tinggi tersebut didirikan di berbagai kota, misalnya Sekolah Tinggi Teknik (Technische Hoogeschool) yang berdiri di Bandung pada tahun 1920 yang dilatar belakangi oleh kepentingan dari para pemilik modal swasta. Sekolah tinggi Hukum (Rechthoogeschool) dan Sekolah Tinggi Kedokteran (Geneeskundige Hoogeschool) keduanya didirikan di Batavia pada tahun 1924 dan 1927. Diikuti pula dengan berdirinya Jurusan Sastra dan Fakultas Pertanian.
Sistem pendidikan yang berlandaskan kepentingan kolonial dirasa tidak banyak memberikan keuntungan bagi golongan pribumi secara lebih luas. Oleh karena itu, beberapa pemimpin dan tokoh-tokoh pendidikan Indonesia mulai memikirkan dan mewujudkan sistem pendidikan Indonesia di luar kerangka tujuan sistem pendidikan Belanda dan Eropa. Pendidikan bagi masyarakat pribumi bermula dari sistem tradisional, seperti pesantren yang sarat dengan misi penyebaran agama Islam. Diikuti dengan berdirinya kurikulum-kurikulum pengajaran lokal seperti Muhammadiyah dan Taman Siswa. Kedua bentuk sekolah ini adalah bentuk reaksi dari model pengajaran Barat yang saat itu didominasi oleh sekolah-sekolah pemerintah dan sekolah Kristen serta Katolik.
Muhammadiyah didirikan pada 18 November 1912 dengan semangat ke-Islam-an oleh K. H. Ahmad Dahlan. Pendirian Muhammadiyah berkaitan pula dengan kebijakan pemerintah kolonial yang akan memberikan subsidi kepada sekolah-sekolah yang berbasis pendidikan Eropa dan Kristen. Terdorong pula oleh keinginan mendapatkan subsidi pendidikan demi kemajuan masyarakat pribumi, maka pendirian sekolah-sekolah dengan pengajaran lokal satu persatu mulai muncul. Perguruan lokal yang juga penting dan memiliki keunikan adalah Taman Siswa. Taman siswa didirikan oleh Suwardi Suryaningrat atau lebih dikenal Ki Hajar Dewantara pada tanggal 3 Juli 1922 di Yogyakarta. Pendirian sekolah ini tidak lepas dari gerakan pembaruan dan pengaruh pendidikan Barat yang cenderung mengabaikan budaya lokal.
Pada tahun 1935, pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan peraturan yang menetapkan bahwa pemerintah memberi tunjangan kepada pegawai negeri yang mempunyai anak bersekolah di sekolah negeri, sekolah partikelir yang bersubsidi dan yang berhak memakai salah satu nama seperti sekolah negeri, seperti HIS dan Volkschool. Maksud pemerintah kolonial adalah agar anak yang memasuki Taman Siswa berkurang. Pada tahun 1938, Ki Hajar Dewantara berjuang dan berhasil membuat pemerintah untuk memberikan hak yang sama. Pada tahun 1935 juga pemerintah kolonial menetapkan pajak upah yang dikenakan pada Taman Siswa. Ki Hajar Dewantara menolak peraturan ini, kemudian tahun 1940, guru-guru Taman Siswa dibebaskan dari pajak upah.


Sumber :
S. Nasution. 2001. Sejarah Pendidikan Indonesia. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Robert van Niel. 1984. Munculnya Elit Modern Indonesia. Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya.
Wardiman Djojonegoro. 1996. Lima Puluh Tahun Perkembangan Pendidikan Indonesia. Jakarta: Depdikbud.
Frank Dhont. 2005. Nasionalisme Baru Intelektual Indonesia Tahun 1920-an. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Cahyo Budi Utomo. 1995. Dinamika Pergerakan Kebangsaan Indonesia dari Kebangkitan hingga Kemerdekaan. Semarang: Ikip Semarang Press.

Restu gunawan, dkk. 2015. Sejarah Pemikiran Indonesia Modern. Jakarta: Dirjen Kemdikbud.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar