SEJARAH PENDIDIKAN HINDIA
BELANDA
Sejarah perkembangan pendidikan di Indonesia dapat
dilacak kembali pada masa kedatangan dan pengaruh kegiatan bangsa Portugis dan
Belanda abad ke-16 dan ke-17. Bangsa Portugis memperlihatkan semangat yang
tinggi untuk kolonisasi dan usaha misi. Berlainan dengan bangsa Belanda, mereka
lebih ingin untuk menyebarkan agama, bahasa, dan kebudayaan mereka di kalangan
orang Indonesia. Pada tahun 1602, VOC (Vereenigde
Oost-Indische Compagnie) datang di Indonesia sebagai suatu perkumpulan
dagang. VOC melibatkan diri dalam kegiatan misi terutama di wilayah-wilayah
bangsa Portugis telah menyebarkan agama Katholik. Strategi VOC adalah
mendirikan sekolah-sekolah yang bersifat elementer dan bercirikan agama. Ketika
VOC dibubarkan pada tanggal 31 Desember 1799, pendidikan tidak berkembang akan
tetapi menunjukkan kekosongan. Pada lima dekade pertama abad ke-19, pendidikan
hanya disediakan untuk anak-anak Belanda, terutama anak Indo-Belanda, yang
bertujuan untuk menumbuhkan kesadaran akan kebangsaannya sebagai orang Belanda.
Perang Diponegoro yang terjadi pada tahun 1825-1830
menyebabkan finansial pemerintah Belanda melemah. Gubernur Jenderal van Den
Bosch mencanangkan Sistem Tanam Paksa (cultuurstelsel)
untuk mengatasi kemerosotan finansial pemerintah Belanda. Sistem Tanam Paksa
merupakan suatu kebijakan untuk mengeksploitasi besar-besaran hasil perkebunan.
Hal ini mendorong pemerintah Belanda untuk memberikan pendidikan kepada orang
pribumi, terutama golongan atas, yang bertujuan mendidik pegawai untuk
mengawasi perkebunan pemerintah.
Pendidikan cepat berkembang di bawah menteri jajahan
yang liberal, Fransen van de Putte. Perkembangan perusahaan-perusahaan asing
sebagai akibat Undang-Undang Agraria pada tahun 1870, disamping melonjaknya
ekonomi, juga memungkinkan perluasan pendidikan. Krisis ekonomi tahun 1880-an
menyebabkan kemerosotan kemajuan pendidikan. Selanjutnya, untuk lebih jelas
akan dibahas mengenai perkembangan pendidikan Indonesia pada masa kolonial
Belanda, pendudukan Jepang dan pasca kemerdekaan.
Awal abad ke-19, kebijaksanaan pendidikan pemerintah
kolonial Hindia Belanda masih lebih banyak berupa rencana daripada tindakan
nyata. Pada tahun 1816, peraturan pemerintah tentang persekolahan dan sekolah
dasar lebih ditujukan pada kepada pendidikan orang-orang Belanda saja. Peraturan
pemerintah yang dikeluarkan tahun 1818, sama sekali tidak menyinggung mengenai
untuk anak pribumi. Pemerintah Hindia Belanda baru mulai menangani pendidikan
pribumi secara sungguh-sungguh pada tahun 1848.
Pendirian sekolah dasar pertama Belanda dilakukan
pada tahun 1864 dengan nama ELS (Europeesche Lagere School). Sekolah ini
dibuka khusus untuk golongan bangsawan, yang memiliki kedudukan di pemerintahan
atau dalam stratifikasi sosial masyarakat. Dalam perkembangannya pada tahun
1893, terjadi penggolongan sekolah pribumi. Sekolah tersebut dibagi menjadi 2
jenis, yaitu Sekolah Dasar Kelas Pertama (eerste klasse) yang diperuntukkan kelas
bangsawan dan Sekolah Dasar Kelas Kedua (tweede klasse) untuk masyarakat biasa.
Sekolah Dasar Kelas Pertama yang ditujukan untuk
pelayanan pendidikan bagi anak-anak golongan bangsawan, kemudian menjadi HIS (Holland Inlandsche School). Bagi masyarakat
pribumi, pemerintah Belanda membuka HIS yang bisa menerima siswa yang berasal dari
berbagai kalangan. HIS memiliki kurikulum yang berdasarkan pada model sekolah
ELS. Salah satunya adalah dengan penggunaan bahasa Melayu atau bahasa lokal
setempat. Pengajaran ini mengalami perubahan ketika siswa memasuki tingkat
lanjutan, bahasa yang diajarkan adalah bahasa Belanda. Hal ini menunjukkan
bahwa pembukaan Volksscholen (sekolah rakyat) merupakan langkah penting
bagi pemerataan pendidikan.
Perkembangan pendidikan dan pengajaran sampai akhir
abad ke-19 di Hindia Belanda memperlihatkan kecenderungan yang dipengaruhi oleh
politik pendidikan pada khususnya dan kebudayaan pada umumnya. Pada akhir abad
19, pemerintah kerajaan Belanda menghapuskan Sistem Tanam Paksa dan persewaan
tanah oleh negara. Sebagai gantinya, perlu adanya politik baru. Haluan politik
baru itu banyak dipengaruhi oleh ide van Deventer, seorang etikus dengan
tulisannya yang terkenal yaitu Hutang Budi. Idenya didasari atas pandangannya
terhadap politik penghisapan yang tak mensejahterakan rakyat. Ide van Deventer
juga disebabkan oleh para pengusaha swasta yang menuntut hak yang sama untuk
bisa menanam modalnya di Hindia Belanda. Kebijakan tersebut disebut Politik
Etis (Trias van Deventer) yang berisi irigasi, edukasi dan
imigrasi. Ketiga program ini ditujukan untuk mensejahterakan masyarakat
pribumi.
Salah satu bagian Politik Etis adalah edukasi
(pendidikan) bagi bangsa pribumi. Perkembangan bidang pendidikan tidak bisa
dilepaskan dari keterlibatan para pembesar Belanda terutama yang beraliran
liberal untuk menanamkan pentingnya pendidikan kepada masyarakat pribumi.
Perusahaan-perusahaan Eropa di Hindia Belanda mengalami kemajuan pesat,
sehingga membutuhkan para pekerja terdidik dan memiliki keahlian tertentu atau
administratur pribumi.
Di bawah pimpinan J. H. Abendanon selaku Direktur
Pendidikan, Agama dan Industri (Department van Onderwijs, Eerendienst en
Nijverheid) pada tahun 1900-1905, pemerintah kolonial memperluas akses
pendidikan bagi anak-anak pribumi dan golongan lain. Hal ini tercermin dari
pendirian sekolah-sekolah tingkat lanjutan. Dengan demikian, murid yang
mengenyam pendidikan dasar dapat meneruskan pendidikannya ke tingkat yang lebih
tinggi. Beberapa warga pribumi yang beruntung, bisa memperoleh kesempatan untuk
melanjutkan pendidikan ke negeri Belanda. Pilihan lain bagi warga pribumi
setelah menamatkan pendidikan dasar bisa pula memasuki ujian pegawai sipil
rendahan (Kleinambtenaaren) untuk bisa memasuki posisi terendah dalam
birokrasi pemerintah Hindia Belanda.
Pendidikan barat di Hindia Belanda mengalami
perkembangan dengan banyaknya sekolah yang dibuka untuk masyarakat pribumi.
Pada tahun 1900 ada tiga sekolah untuk para calon pimpinan masyarakat
(Hoofdenscholen) yang berada di Bandung, Magelang dan Probolinggo yang
dijadikan OSVIA. Pendidikan merupakan sarana bagi pemerintah Hindia Belanda
untuk memperoleh tenaga-tenaga birokrat di tingkat daerah untuk melaksanakan
kebijakan-kebijakan kolonial. Lulusan pendidikan dasar Belanda tersebut juga
bisa meneruskan pada jenjang yang lebih tinggi. Pada pendidikan lanjutan ini pemerintah
kolonial mendirikan HBS (Hoogere Burgere School) dan Lyceum yang setara dengan sekolah
menengah atas. Dalam tingkatan ini, siswa mendapatkan kurikulum yang lebih
sulit dengan standar yang juga lebih tinggi, sehingga tidak heran bahwa
kelulusan pada HBS dan Lyceum cenderung
rendah.
Pemerintah Belanda pada tahun 1914 kemudian mendirikan
MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) sebagai cara untuk memberikan
kesempatan bagi rakyat pribumi memperoleh pendidikan lanjutan. Kurikulum sekolah
ini mengajarkan pula bahasa Melayu. Para lulusan MULO dapat melanjutkan ke
sekolah dagang maupun akademi-akademi yang dimiliki oleh pemerintah Belanda. Perkembangan
selanjutnya, pemerintah Belanda membuka sekolah lanjutan bagi masyarakat
pribumi yang lulusannya bisa memperoleh bekal ilmu untuk meneruskan ke
universitas. Jenjang pendidikan ini dinamakan sebagai AMS (Algeemene
Middelbare School) yang resmi berdiri pada 1918. Pada tingkat pendidikan
ini, siswa dibekali dengan sejumlah pengetahuan yang dapat menyiapkan mereka
memasuki perguruan tinggi. Lembaga setingkat universitas yang didirikan oleh
Pemerintah Belanda adalah untuk menampung para lulusan AMS yang ingin
memperoleh pekerjaan yang lebih tinggi daripada hanya sekedar menjadi pegawai
rendahan pemerintah Belanda. Wacana ini sejalan dengan mulai munculnya
banyaknya putra-putra pribumi yang meneruskan pendidikan ke negeri Belanda.
Pemberian dana bantuan pendidikan ke Belanda bagi putra-putra pribumi juga
turut memperluas kesempatan mengenyam pendidikan tinggi.
Sekolah setara pendidikan tinggi yang pertama kali
dibuka adalah sekolah juru kesehatan bumiputra atau yang lebih terkenal dengan
Sekolah Dokter Jawa (School voor Inlandsche Geneeskundige).
Sekolah ini kemudian berkembang menjadi STOVIA (School tot Opleiding van
Inlandsche Artsen) yang memiliki masa studi 3 tahun untuk persiapan dan 6
tahun masa perkuliahan. Sekolah ini kemudian menjadi media Perguruan tinggi di
nusantara yang dibangun oleh pemerintah Belanda meliputi berbagai bidang ilmu
antara lain teknik, hukum, kedokteran dan sastra. Pendirian kampus-kampus
tersebut berusaha untuk menampung minat lulusan sekolah menengah yang jumlahnya
tidak seberapa dari AMS. Sekolah-sekolah tinggi tersebut didirikan di berbagai
kota, misalnya Sekolah Tinggi Teknik (Technische Hoogeschool) yang berdiri
di Bandung pada tahun 1920 yang dilatar belakangi oleh kepentingan dari para
pemilik modal swasta. Sekolah tinggi Hukum (Rechthoogeschool) dan
Sekolah Tinggi Kedokteran (Geneeskundige Hoogeschool) keduanya didirikan
di Batavia pada tahun 1924 dan 1927. Diikuti pula dengan berdirinya Jurusan
Sastra dan Fakultas Pertanian.
Sistem pendidikan yang berlandaskan kepentingan
kolonial dirasa tidak banyak memberikan keuntungan bagi golongan pribumi secara
lebih luas. Oleh karena itu, beberapa pemimpin dan tokoh-tokoh pendidikan
Indonesia mulai memikirkan dan mewujudkan sistem pendidikan Indonesia di luar
kerangka tujuan sistem pendidikan Belanda dan Eropa. Pendidikan bagi masyarakat
pribumi bermula dari sistem tradisional, seperti pesantren yang sarat dengan
misi penyebaran agama Islam. Diikuti dengan berdirinya kurikulum-kurikulum
pengajaran lokal seperti Muhammadiyah dan Taman Siswa. Kedua bentuk sekolah ini
adalah bentuk reaksi dari model pengajaran Barat yang saat itu didominasi oleh
sekolah-sekolah pemerintah dan sekolah Kristen serta Katolik.
Muhammadiyah didirikan pada 18 November 1912 dengan
semangat ke-Islam-an oleh K. H. Ahmad Dahlan. Pendirian Muhammadiyah berkaitan
pula dengan kebijakan pemerintah kolonial yang akan memberikan subsidi kepada
sekolah-sekolah yang berbasis pendidikan Eropa dan Kristen. Terdorong pula oleh
keinginan mendapatkan subsidi pendidikan demi kemajuan masyarakat pribumi, maka
pendirian sekolah-sekolah dengan pengajaran lokal satu persatu mulai muncul.
Perguruan lokal yang juga penting dan memiliki keunikan adalah Taman Siswa. Taman
siswa didirikan oleh Suwardi Suryaningrat atau lebih dikenal Ki Hajar Dewantara
pada tanggal 3 Juli 1922 di Yogyakarta. Pendirian sekolah ini tidak lepas dari
gerakan pembaruan dan pengaruh pendidikan Barat yang cenderung mengabaikan
budaya lokal.
Pada tahun 1935, pemerintah Hindia Belanda
mengeluarkan peraturan yang menetapkan bahwa pemerintah memberi tunjangan
kepada pegawai negeri yang mempunyai anak bersekolah di sekolah negeri, sekolah
partikelir yang bersubsidi dan yang berhak memakai salah satu nama seperti
sekolah negeri, seperti HIS dan Volkschool.
Maksud pemerintah kolonial adalah agar anak yang memasuki Taman Siswa
berkurang. Pada tahun 1938, Ki Hajar Dewantara berjuang dan berhasil membuat
pemerintah untuk memberikan hak yang sama. Pada tahun 1935 juga pemerintah
kolonial menetapkan pajak upah yang dikenakan pada Taman Siswa. Ki Hajar
Dewantara menolak peraturan ini, kemudian tahun 1940, guru-guru Taman Siswa
dibebaskan dari pajak upah.
Sumber :
S. Nasution. 2001. Sejarah Pendidikan Indonesia. Jakarta:
PT Bumi Aksara.
Robert van Niel. 1984. Munculnya Elit Modern Indonesia.
Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya.
Wardiman Djojonegoro.
1996. Lima Puluh Tahun Perkembangan
Pendidikan Indonesia. Jakarta: Depdikbud.
Frank Dhont. 2005. Nasionalisme Baru Intelektual Indonesia
Tahun 1920-an. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Cahyo Budi Utomo. 1995.
Dinamika Pergerakan Kebangsaan Indonesia
dari Kebangkitan hingga Kemerdekaan. Semarang: Ikip Semarang Press.
Restu gunawan, dkk.
2015. Sejarah Pemikiran Indonesia Modern.
Jakarta: Dirjen Kemdikbud.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar