DARI
VORSTENLANDEN HINGGA SURAKARTA KOCHI : SEJARAH KERAJAAN SURAKARTA PADA
MASA PERALIHAN PEMERINTAHAN KOLONIAL BELANDA SAMPAI MASA PENDUDUKAN JEPANG
Awal terbentuknya
birokrasi tradisional Surakarta adalah birokrasi kerajaan yang berkembang sejak
Surakarta menjadi pusat kraton tahun 1745. Pusat kraton Surakarta adalah
pindahan dari pusat kraton Kartasura, karena diduduki oleh pasukan-pasukan yang
menjadi musuh Sunan Paku Buwono II, yaitu pemberontakan orang Cina yang dipimpin
oleh Sunan Kuning dan juga tentara Madura di bawah Tjakraningrat yang menduduki
kraton Kartasura. Kraton yang terletak di Kartasura mengalami kerusakan akibat
serangan-serangan dari musuh Sunan Paku Buwono II. Atas dasar alasan ini Sunan
Paku Buwono II memindahkan pusat kratonnya dari Kartasura menuju Surakarta,
yang dulunya bernama desa Sala.
Pada tahun 1749, masa
pemerintahan Sunan Paku Buwono III kembali dihadapkan dengan masalah
pemberontakan, yaitu pemberontakan Raden Mas Said dan Pangeran Mangkubumi. Pada
tahun 1755, diadakanlah Perjanjian Giyanti antara Sunan Paku Buwono III,
Pangeran Mangkubumi dan pihak Belanda. Perjanjian ini memutuskan bahwa wilayah
Sunan dibagi menjadi dua, yaitu Kasunanan Surakarta untuk Sunan Paku Buwono III
dan Kasultanan Yogyakarta untuk Pangeran Mangkubumi. Setelah itu, Pangeran
Mangkubumi juga dinobatkan sebagai Sultan Hamengkubuwono I. Kemudian pada tahun
1757, R. M. Said juga mendapat wilayah kekuasaan sesuai dalam Perjanjian
Salatiga. R. M. Said bergelar Pangeran Adipati Mangkunegoro I. Selain itu, pada
masa pemerintahan Inggris di Indonesia tahun 1813, dalam wilayah Kasultanan
Yogyakarta berdiri Pakualaman yang dipimpin oleh Pangeran Notokusumo dan
bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo Paku Alam I.
Pada masa pemerintahan
Hindia Belanda di Indonesia, sebagai pengganti pemerintahan kumpeni (VOC),
Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta dinamakan daerah kerajaan atau
dikenal dengan nama Vorstenlanden,
artinya daerah kerajaan. Istilah Vorstenlanden
menunjukkan daerah kerajaan yang meliputi 4 kekuasaan, yaitu: Kasunanan,
Mangkunegaran, Kasultanan, dan Pakualaman. Kebijaksanaan kolonial Belanda
terhadap daerah kerajaan ini adalah penempatan status daerah kerajaan sebagai
daerah istimewa. Hal tersebut berarti bahwa daerah kerajaan atau Vorstenlanden merupakan juga daerah
istimewa. Wilayah-wilayah di luar daerah kerajaan oleh pemerintah Hindia
Belanda disebut gubernemen, yang
diperintah secara langsung pemerintah Hindia Belanda. Hal itu menunjukkan bahwa
birokrasi kolonial di Surakarta makin besar pengaruhnya. Untuk daerah Vorstenlanden, pemerintah kolonial
menempatkan jabatan yang disebut residen dan asisten residen. Jabatan ini
dipegang orang Belanda. Kedudukan residen dan asisten residen ini sifatnya
hanya membantu raja dalam berhubungan dengan Gubernur Jendral di Batavia. Tugas
residen dan asisten residen di daerah kerajaan ialah mengawasi gerak politik
raja dan para pegawainya, melaksanakan pemerintah kolonial dalam hubungannya
dengan perkembangan milik pengusaha Eropa.
Pemerintah kolonial berusaha
meletakkan birokrasinya di atas birokrasi tradisional. Di daerah Surakarta
seorang residen tidak dapat langsung menjalankan kebijakan kolonialnya. Semua
perintah dan kebijakan kolonial harus melalui Patih dahulu dengan persetujuan
raja. Dengan kata lain, raja tetap memegang kekuasaan pemerintahan. Dengan
demikian, penetapan kedudukan Kasunanan dan Kasultanan serta Mangkunegaran dan
Pakualaman sebagai daerah kerajaan oleh pemerintah kolonial Belanda menunjukkan
bahwa pemerintah kolonial bersifat tidak langsung, berbeda dengan daerah gubernemen
yang bersifat langsung. Pemerintah kolonial Belanda juga mengembangkan sistem
pengadilan di daerah kerajaan Surakarta dan kerajaan Yogyakarta sehingga
sejajar dengan sistem pengadilan di daerah gubernemen. Perkara pidana dan
perkara perdata di daerah gubernemen dan daerah kerajaan dalam penyelesaiannya
akan lebih mudah. Dengan demikian, birokrasi kolonial sangat dominan
kedudukannya dalam bidang hukum tidak saja di daerah gubernemen tetapi juga di
daerah kerajaan.
Pada masa pendudukan
militer Jepang di Indonesia, 1942-1945 terjadi perubahan wilayah administratif
pemerintahan, terutama di pulau Jawa. Tanggal 8 Maret 1942 adalah suatu
peristiwa penting bagi sejarah pendudukan militer Jepang di Indonesia.
Pembagian wilayah bekas pemerintahan Hindia Belanda secara resmi dimulai
tanggal 8 Maret 1942, saat pemerintah Hindia Belanda menyerah tak bersyarat
kepada pemerintah Dai Nippon. Wilayah
propinsi-propinsi dalam masa pemerintahan Hindia Belanda dihapuskan. Daerah Vorstenlanden dinyatakan sebagai daerah
istimewa yang dinamakan Kochi. Ada
dua Kochi, yaitu Surakarta Kochi dan Yogyakarta
Kochi. Pimpinan Surakarta Kochi adalah seorang militer Jepang. Pimpinan
Surakarta Kochi disebut Kochi jumu Kyoku Chokan (Pembesar Urusan
Daerah Kerajaan). Pejabat Surakarta Kochi bernama Kakka dan bisa disebut Chokan
Kakka. Di wilayah Surakarta Kochi,
pemerintah Jepang di Indonesia tetap mengakui kekuasaan susuhunan yang
dinamakan Susuhunan Ko dan kekuasaan
Mangkunegaran dinamakan Mangkunegoron Ko.
Susuhunan Ko pada masa pendudukan
militer Jepang adalah Pakubuwono XI, sedangkan di Mangukegaran adalah Kanjeng
Gusti Pangeran Aryo Mangkunegoro VII. Susuhunan
Ko dan Mangkunegoron Ko diangkat
dan dihentikan oleh Pembesar balatentara Dai
Nippon Di Jakarta.
Kedudukan Susuhunan Ko yang dapat dihentikan
sebagai Ko atau penguasa kerajaan
Susuhunan (Surakarta) oleh Pemerintah Balatentara Jepang yang berkedudukan di
Jakarta menunjukkan adanya campur tangan yang jauh dalam birokrasi tradisional.
Sedangkan pepatih dalem (patih kerajaan) disebut Somu Chokan diangkat dan diperhentikan oleh Kochi Jimu Kyoku Chikan (Pembesar Urusan Daerah Kerajaan). Dengan
demikian, Pemerintah Militer Jepang di Surakarta kochi di bawah pimpinan Kochi Jimu Kyoku Chokan dapat langsung
melakukan perintah-perintah melalui pepatih dalem (Somuchokan).
Di luar daerah kerjaan,
semua wilayah dibagi-bagi menjadi syuu
(karesidenan), maka daerah-daerah wilayah kerajaan Surakarta yang disebut
daerah mancanegara dihapuskan dan labgsung di bawah kekuasaan pemerintah
militer Jepang. Pada akhirnya Surakarta Kochi
hanya meliputi administrasi pemerintahan 4 kabupaten (ken), yaitu Boyolali ken,
Klaten ken, Sragen ken, dan Wonogiri ken. Wilayah administratif pemerintahan tersebut ditambah wilayah
kekuasaan Susuhunan di kota Surakarta yaitu Distrik Laweyan, Distrik Pasar
Kliwon, Distrik Banjarsari, dan Distrik Jebres. Di pihak Mangkunegoron Ko, wilayah pemerintahannya meliputi Karanganyar ken dan kabupaten kota (kota Surakarta
ken), yang meliputi bagian utara kota Surakarta serta sebagian daerah
Sukoharjo.
Dapat disimpulkan bahwa
daerah-daerah Kasunanan yang digolongkan daerah mancanegara, tidak lagi di
bawah kekuasaan keajaan Surakarta, baik pada masa pemerintahan Belanda dan
pemeintahan militer Jepang. Oleh pemerintah Balatentara Dai Nippon, Surakarta Kochi
dijadikan alat pemerintahan militer Jepang. Korp pangreh praja, yang pada masa
pemerintahan Hindia Belanda menjadi alat pemerintah kolonial, maka masa
pendudukan militer Jepang korp. pangreh praja ini juga menjadi alat birokrasi
militer Jepang.
Surakarta Kochi sebagai lembaga pemerintahan
berdiri di atas birokrasi tradisional. Kochi Jimu Chokan sebagai pimpinan
Surakarta Kochi, tanpa persetujuan
Susuhunan sering memberikan instruksi dan perintah kepada patih dalem (Patih
kerajaan). Dan patih dalem hanya melaporkan hasilnya saja kepada susuhunan.
Dengan demikian intervensi politik Surakarta Kochi ke dalam birokrasi tradisional sangat kuat. Akibatnya peranan
Susuhunan hanya dijadikan simbol politik dalam birokrasi tradisional.
Sumber :
Bendel
Djaman Djepang, No. 29, Tahun 1943/1944.
Arsip Mangkunegaran, disimpan di Perpustakaan
Reksopustoko, Mangkunegaran.
Osamoe Seirei
(Oendang-Oendang) No. 1, 1942.
Osamoe
Seire. No. 28, Batavia, 7 Agoestoes 1942. Dikeluarkan oleh Balatentara Dai
Nippon, Batavia
2602 (1942).
Ken
Ichi Goto. 1998. Jepang dan Pergerakan
Kebangsaan Indonesia. Edisi bahasa Indonesia Jakarta:Yayasan
Obor Indonesia.
Notosusanto,
Nugroho. 1979. Tentara Peta Pada Jaman
Pendudukan Jepang di Indonesia. Jakarta:
PT. Gramedia.
Onghokham. 1987. Runtuhnya Hindia Belanda. Jakarta: PT.
Gramedia.
Reid, A. J. S.1974. Indonesian
National Revolution 1945-1950. Victoria: Longman Australia Ltd.
Siraishi,
Saya dan Takashi Siraishi (Penyunting). 1998. Orang Jepang Di Koloni Asia Tenggara. Edisi
bahasa Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.
Supomo,
R. 1953. Sistem Hukum Di Indonesia
Sebelum Perang Dunia Ke II. Jakarta: Pradnja Paramita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar