Senin, 15 Agustus 2016

DARI VORSTENLANDEN HINGGA SURAKARTA KOCHI : SEJARAH KERAJAAN SURAKARTA PADA MASA PERALIHAN PEMERINTAHAN KOLONIAL BELANDA SAMPAI MASA PENDUDUKAN JEPANG


Awal terbentuknya birokrasi tradisional Surakarta adalah birokrasi kerajaan yang berkembang sejak Surakarta menjadi pusat kraton tahun 1745. Pusat kraton Surakarta adalah pindahan dari pusat kraton Kartasura, karena diduduki oleh pasukan-pasukan yang menjadi musuh Sunan Paku Buwono II, yaitu pemberontakan orang Cina yang dipimpin oleh Sunan Kuning dan juga tentara Madura di bawah Tjakraningrat yang menduduki kraton Kartasura. Kraton yang terletak di Kartasura mengalami kerusakan akibat serangan-serangan dari musuh Sunan Paku Buwono II. Atas dasar alasan ini Sunan Paku Buwono II memindahkan pusat kratonnya dari Kartasura menuju Surakarta, yang dulunya bernama desa Sala.
Pada tahun 1749, masa pemerintahan Sunan Paku Buwono III kembali dihadapkan dengan masalah pemberontakan, yaitu pemberontakan Raden Mas Said dan Pangeran Mangkubumi. Pada tahun 1755, diadakanlah Perjanjian Giyanti antara Sunan Paku Buwono III, Pangeran Mangkubumi dan pihak Belanda. Perjanjian ini memutuskan bahwa wilayah Sunan dibagi menjadi dua, yaitu Kasunanan Surakarta untuk Sunan Paku Buwono III dan Kasultanan Yogyakarta untuk Pangeran Mangkubumi. Setelah itu, Pangeran Mangkubumi juga dinobatkan sebagai Sultan Hamengkubuwono I. Kemudian pada tahun 1757, R. M. Said juga mendapat wilayah kekuasaan sesuai dalam Perjanjian Salatiga. R. M. Said bergelar Pangeran Adipati Mangkunegoro I. Selain itu, pada masa pemerintahan Inggris di Indonesia tahun 1813, dalam wilayah Kasultanan Yogyakarta berdiri Pakualaman yang dipimpin oleh Pangeran Notokusumo dan bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo Paku Alam I.
Pada masa pemerintahan Hindia Belanda di Indonesia, sebagai pengganti pemerintahan kumpeni (VOC), Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta dinamakan daerah kerajaan atau dikenal dengan nama Vorstenlanden, artinya daerah kerajaan. Istilah Vorstenlanden menunjukkan daerah kerajaan yang meliputi 4 kekuasaan, yaitu: Kasunanan, Mangkunegaran, Kasultanan, dan Pakualaman. Kebijaksanaan kolonial Belanda terhadap daerah kerajaan ini adalah penempatan status daerah kerajaan sebagai daerah istimewa. Hal tersebut berarti bahwa daerah kerajaan atau Vorstenlanden merupakan juga daerah istimewa. Wilayah-wilayah di luar daerah kerajaan oleh pemerintah Hindia Belanda disebut gubernemen, yang diperintah secara langsung pemerintah Hindia Belanda. Hal itu menunjukkan bahwa birokrasi kolonial di Surakarta makin besar pengaruhnya. Untuk daerah Vorstenlanden, pemerintah kolonial menempatkan jabatan yang disebut residen dan asisten residen. Jabatan ini dipegang orang Belanda. Kedudukan residen dan asisten residen ini sifatnya hanya membantu raja dalam berhubungan dengan Gubernur Jendral di Batavia. Tugas residen dan asisten residen di daerah kerajaan ialah mengawasi gerak politik raja dan para pegawainya, melaksanakan pemerintah kolonial dalam hubungannya dengan perkembangan milik pengusaha Eropa.
Pemerintah kolonial berusaha meletakkan birokrasinya di atas birokrasi tradisional. Di daerah Surakarta seorang residen tidak dapat langsung menjalankan kebijakan kolonialnya. Semua perintah dan kebijakan kolonial harus melalui Patih dahulu dengan persetujuan raja. Dengan kata lain, raja tetap memegang kekuasaan pemerintahan. Dengan demikian, penetapan kedudukan Kasunanan dan Kasultanan serta Mangkunegaran dan Pakualaman sebagai daerah kerajaan oleh pemerintah kolonial Belanda menunjukkan bahwa pemerintah kolonial bersifat tidak langsung, berbeda dengan daerah gubernemen yang bersifat langsung. Pemerintah kolonial Belanda juga mengembangkan sistem pengadilan di daerah kerajaan Surakarta dan kerajaan Yogyakarta sehingga sejajar dengan sistem pengadilan di daerah gubernemen. Perkara pidana dan perkara perdata di daerah gubernemen dan daerah kerajaan dalam penyelesaiannya akan lebih mudah. Dengan demikian, birokrasi kolonial sangat dominan kedudukannya dalam bidang hukum tidak saja di daerah gubernemen tetapi juga di daerah kerajaan.
Pada masa pendudukan militer Jepang di Indonesia, 1942-1945 terjadi perubahan wilayah administratif pemerintahan, terutama di pulau Jawa. Tanggal 8 Maret 1942 adalah suatu peristiwa penting bagi sejarah pendudukan militer Jepang di Indonesia. Pembagian wilayah bekas pemerintahan Hindia Belanda secara resmi dimulai tanggal 8 Maret 1942, saat pemerintah Hindia Belanda menyerah tak bersyarat kepada pemerintah Dai Nippon. Wilayah propinsi-propinsi dalam masa pemerintahan Hindia Belanda dihapuskan. Daerah Vorstenlanden dinyatakan sebagai daerah istimewa yang dinamakan Kochi. Ada dua Kochi, yaitu Surakarta Kochi dan Yogyakarta Kochi. Pimpinan Surakarta Kochi adalah seorang militer Jepang. Pimpinan Surakarta Kochi disebut Kochi jumu Kyoku Chokan (Pembesar Urusan Daerah Kerajaan). Pejabat Surakarta Kochi bernama Kakka dan bisa disebut Chokan Kakka. Di wilayah Surakarta Kochi, pemerintah Jepang di Indonesia tetap mengakui kekuasaan susuhunan yang dinamakan Susuhunan Ko dan kekuasaan Mangkunegaran dinamakan Mangkunegoron Ko. Susuhunan Ko pada masa pendudukan militer Jepang adalah Pakubuwono XI, sedangkan di Mangukegaran adalah Kanjeng Gusti Pangeran Aryo Mangkunegoro VII. Susuhunan Ko dan Mangkunegoron Ko diangkat dan dihentikan oleh Pembesar balatentara Dai Nippon Di Jakarta.
Kedudukan Susuhunan Ko yang dapat dihentikan sebagai Ko atau penguasa kerajaan Susuhunan (Surakarta) oleh Pemerintah Balatentara Jepang yang berkedudukan di Jakarta menunjukkan adanya campur tangan yang jauh dalam birokrasi tradisional. Sedangkan pepatih dalem (patih kerajaan) disebut Somu Chokan diangkat dan diperhentikan oleh Kochi Jimu Kyoku Chikan (Pembesar Urusan Daerah Kerajaan). Dengan demikian, Pemerintah Militer Jepang di Surakarta kochi di bawah pimpinan Kochi Jimu Kyoku Chokan dapat langsung melakukan perintah-perintah melalui pepatih dalem (Somuchokan).
Di luar daerah kerjaan, semua wilayah dibagi-bagi menjadi syuu (karesidenan), maka daerah-daerah wilayah kerajaan Surakarta yang disebut daerah mancanegara dihapuskan dan labgsung di bawah kekuasaan pemerintah militer Jepang. Pada akhirnya Surakarta Kochi hanya meliputi administrasi pemerintahan 4 kabupaten (ken), yaitu Boyolali ken, Klaten ken, Sragen ken, dan Wonogiri ken. Wilayah administratif pemerintahan tersebut ditambah wilayah kekuasaan Susuhunan di kota Surakarta yaitu Distrik Laweyan, Distrik Pasar Kliwon, Distrik Banjarsari, dan Distrik Jebres. Di pihak Mangkunegoron Ko, wilayah pemerintahannya meliputi Karanganyar ken dan kabupaten kota (kota Surakarta ken), yang meliputi bagian utara kota Surakarta serta sebagian daerah Sukoharjo.
Dapat disimpulkan bahwa daerah-daerah Kasunanan yang digolongkan daerah mancanegara, tidak lagi di bawah kekuasaan keajaan Surakarta, baik pada masa pemerintahan Belanda dan pemeintahan militer Jepang. Oleh pemerintah Balatentara Dai Nippon, Surakarta Kochi dijadikan alat pemerintahan militer Jepang. Korp pangreh praja, yang pada masa pemerintahan Hindia Belanda menjadi alat pemerintah kolonial, maka masa pendudukan militer Jepang korp. pangreh praja ini juga menjadi alat birokrasi militer Jepang.
Surakarta Kochi sebagai lembaga pemerintahan berdiri di atas birokrasi tradisional. Kochi Jimu Chokan sebagai pimpinan Surakarta Kochi, tanpa persetujuan Susuhunan sering memberikan instruksi dan perintah kepada patih dalem (Patih kerajaan). Dan patih dalem hanya melaporkan hasilnya saja kepada susuhunan. Dengan demikian intervensi politik Surakarta Kochi ke dalam birokrasi tradisional sangat kuat. Akibatnya peranan Susuhunan hanya dijadikan simbol politik dalam birokrasi tradisional.

Sumber :
Bendel Djaman Djepang, No. 29,  Tahun 1943/1944. Arsip Mangkunegaran, disimpan di Perpustakaan Reksopustoko, Mangkunegaran.
Osamoe Seirei (Oendang-Oendang) No. 1, 1942.
Osamoe Seire. No. 28, Batavia, 7 Agoestoes 1942. Dikeluarkan oleh Balatentara Dai Nippon, Batavia 2602 (1942).
Ken Ichi Goto. 1998. Jepang dan Pergerakan Kebangsaan Indonesia. Edisi bahasa Indonesia Jakarta:Yayasan Obor Indonesia.
Notosusanto, Nugroho. 1979. Tentara Peta Pada Jaman Pendudukan Jepang di IndonesiaJakarta: PT. Gramedia.
Onghokham. 1987. Runtuhnya Hindia Belanda. Jakarta: PT. Gramedia.
Reid, A. J. S.1974.  Indonesian National Revolution 1945-1950. Victoria: Longman Australia Ltd.
Siraishi, Saya dan Takashi Siraishi (Penyunting). 1998. Orang Jepang Di Koloni Asia Tenggara. Edisi bahasa Indonesia.  Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Supomo, R. 1953. Sistem Hukum Di Indonesia Sebelum Perang Dunia Ke II. Jakarta: Pradnja Paramita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar