Rabu, 17 Agustus 2016

GUNDIK PADA MASA KOLONIAL

            Periode kolonialisasi Belanda di kepulauan nusantara menghadirkan beragam kisah pilu yang menggugah rasa kemanusiaan.  Pada sekitar abad ke-19, pada masa penjajahan Belanda di Hindia Belanda, ada suatu peristiwa yang mungkin tidak banyak orang mengetahuinya, dimana adanya hubungan antara orang Belanda dengan orang pribumi. Namun, dalam hubungan tersebut tidaklah bersifat formal maupun terbuka, sifat hubungan tersebut cenderung lebih dari tetutup dan mungkin lebih bersifat pribadi. Gundik, banyak yang menyebut sebagai istri tak resmi, perempuan simpanan, atau yang lebih ekstrem istri yang difungsikan sebagai pelepasan nafsu birahi. Kalau raja-raja Jawa dahulu banyak pula mempunyai gundik perempuan pedesaan. Meski para raja sudah mempunyai istri utama atau pertama, seringkali masih mencari perempuan lain yang dijadikan sebagai perempuan lain dalam melanggengkan kursi kerajaannya. Inilah yang disebut sebagai selir. Sedangkan istri utama banyak yang menyebut sebagai permaisuri yang notabene keturunan dari permaisuri inilah yang akan melanggengkan kerajaannya.
            Adanya laki-laki yang mempunyai lebih dari satu istri atau gundik ini karena banyak faktor. Salah satunya karena faktor superior laki-laki dibanding perempuan waktu itu. Karena lemahnya perempuan, rendahnya pendidikan, ketidakberdayaan wanita karena fungsi wanita hanya sebagai pengasuh anak dan berkutat pada apa yang dinamakan sumur, kasur dan dapur.
            Pada masa VOC, batasan boleh atau tidaknya menikah adalah berdasar agama Kristen atau non Kristen. Akan tetapi, dibuatlah undang-undang pada tahun 1848, yang menghilangkan batasan agama untuk pernikahan. Oleh karenanya, orang Eropa boleh menikahi orang Asia dengan syarat mematuhi hukum eropa yang berlaku. Mahalnya biaya untuk formalitas perempuan asia yang ingin “berpindah” menjadi Eropa menyebabkan praktik perbudakan sebagai gundik masih banyak terjadi.
            Pada 1622 untuk kali pertama para perempuan Belanda yang berasal dari rumah-rumah yatim piatu datang untuk memenuhi kebutuhan para pegawai Belanda. Akan tetapi, politik pengantin perempuan kulit putih ini menimbulkan protes di Belanda maupun koloninya. Mereka khawatir perkawinan itu akan menciptakan trekker, yang hanya memikirkan kepentingan pribadi dan kembali ke tanah air dengan istri dan anak mereka begitu mengumpulkan uang.
            Hereen XVII akhirnya meninjau ulang proyek itu. Selain tak bisa memenuhi permintaan, biaya pengirimannya mahal dan keberadaan perempuan di atas kapal memperburuk disiplin. Selain itu, perkawinan suami-istri Belanda di Hindia seringkali mandul. Belajar dari Portugis, Hereen XVII menganjurkan orang-orang Belanda kawin dengan perempuan-perempuan Hindia agar tercipta masyarakat mestizo (campuran) yang patuh di Batavia. Sekalipun terjadi perkawinan resmi, pergundikan tetap tumbuh subur.


Gambar : mestizo
sumber : www.google.com/mestizo.

            Selain menerapkan politik perkawinan, penguasa VOC membuat aturan terkait relasi seksual dan gender. Pelanggaran seksual dianggap kejahatan serius. Dalam banyak kasus, pelanggaran seksual dituduhkan kepada para gundik. Umumnya kasus-kasus itu dikaitkan dengan racun dan jampi-jampi.
            Pada masa Kolonial para simpanan tersebut banyak di sebut dengan Nyai yang berkonotasi negatif, berbeda dengan sebutan Nyai pada masa sekarang ini, nyai pada masa sekarang ini lebih berkonotasi positif, seperti istri Kiai, perempuan yang lebih dibesarkan (perempuan yang memiliki nama di antara masyarakat sekitar). Kata “Nyai” yang merupakan istilah yang biasa digunakan untuk panggilan seorang gundik ini dikenal di Jawa, Sunda dan Bali. Keberadaan kata yang telah ada sejak zaman VOC ini diperkirakan berasal dari Bali karena pada waktu itu Bali adalah pemasok budak.[1] Budak-budak inilah yang kemudian menjadi gundik di waktu selanjutnya, karena peraturan yang menyatakan dihapusnya perbudakan tahun 1860.
gambar : Nyai, Suami, dan Anaknya.

            Nyai, oleh karenanya dapat dikatakan berasal dari status paling bawah-masyarakat paling miskin. Selama ini mereka menjadi nyai dinilai karena kepentingan meterial, atau dipaksa. Nyai pada dasarnya pembantu rumah tangga yang menjadi menjadi pengatur kehidupan domestik para tuannya: memasak makanan, membersihkan rumah, dan melayani kebutuhan seks, serta mereka juga bersolek dengan pakaian khusus para nyai sebagai simbol status. Para nyai tak memiliki hak secara resmi. Jika ia disuruh pergi keluar rumah majikannya, mau tak mau ia harus pergi dengan tangan kosong. Kondisi itu berbeda jika ia sempat membuat perjanjian dengan tuan sekaligus "suaminya" itu. Mereka mencegah para tuannya agar tidak mengunjungi tempat-tempat pelacuran, sehingga dapat mengurangi terjadinya penyakit kelamin. Tanpa hak, seorang nyai tak mendapat perlindungan sama sekali dari perlakuan merugikan pasangannya yang majikannya itu. Padahal, kebanyakan lelaki Eropa yang merasa superior, karena kulit putihnya membenarkan diri untuk berbuat kasar kepada penduduk pribumi, termasuk nyainya. Menjadi seorang nyai, merupakan suatu tekanan tersendiri, karena adanya desakan ekonomi dari pihak perempuan pribumi. Selain itu pula, nyai mendapatkan beberapa dampak berupa psikologis, ekonomi, sosial serta budaya.
            Ketika pegawai perkebunan Belanda harus lajang, karena keberadaan perempuan (Eropa) dinilai akan menambah biaya hidup yang dikeluarkan oleh perkebunan dan akan mengganggu aktivitas mereka dalam bekerja, maka disarankan agar mereka memelihara nyai di rumah. Pergundikan dan pelacuran adalah realitas sehari-sehari di kalangan tentara. Mereka hidup di tangsi-tangsi bersama nyai, disamping ada juga tentara pribumi yang hidup bersama istri dan anak-anaknya.
            Nyai boleh dikatakan tidak memiliki hak atas apapun, atas anak yang dilahirkannya dari hasil samenleven, bahkan ketika sang imigran itu secara resmi menikahinya. Tak jarang suami membatasi ibu pribumi untuk bertemu dengan anaknya karena mereka berada di tempat yang berbeda untuk dididik secara barat. Ketika sang imigran menikah dengan perempuan Eropa, nasib anak nyai semakin dilematis, diakui menjadi bagian dari kelompok Eropa, hidup bersama ibu tiri, ataukah tidak diakui dan kembali bersama ibu kandungnya menyandang gelar pribumi.
            Perlakuan diskriminatif juga dialami perempuan burgher (orang bebas) yang berhubungan seks dengan seorang budak dianggap pembalikan peran seksual yang tak bisa diterima. Jika lelaki Eropa bisa melakukan poligami, perempuan bersuami tak boleh melakukan praktik bigami. Selain pembiaran terhadap pergundikan, Batavia juga tak bisa sepenuhnya mengontrol perilaku seksual personelnya. Komandan garnisun VOC yang ditempatkan di Kartasura pada 1682 melaporkan serdadu-serdadu VOC memperkosa perempuan-perempuan Jawa di rumah mereka. Seringkali hal ini menjadi masalah, terlihat dari suatu perjanjian yang mengatur hubungan VOC dan Banten pada Februari 1686. Isinya antara lain mewajibkan Batavia agar mengusahakan pegawai-pegawai VOC di Banten tak melakukan pendekatan tak senonoh kepada perempuan-perempuan Banten di rumah atau jalan-jalan serta tak menonton sultan atau perempuan-perempuan saat sedang mandi di sungai.
            Praktik penyimpang seksual, pergundikan pejabat, menjadi hal wajar di masa kolonial. Batavia yang menjadi pusat kekuasaan Hindia Belanda sempat disebut sebagai kota para nyai atau gundik. Ini karena pada masa itu banyak ditemukan nyai beserta anaknya. Dunia pergundikan pernah eksis di nusantara, bahkan ini terjadi di pusat kekuasaan Hindia Belanda, yakni di Batavia. Pada awal 1800, bertepatan dengan bubarnya kongsi dagang B VOC dan diangkatnya Herman Willem Daendles sebagai gubernur jenderal, di sana didapatkan kenyataan maraknya dunia pergundikan atau pernyaian di kota ini. Bahkan praktik ini tidak hanya berlangsung dalam benteng, tangsi militer tapi juga di perkebunan di pelosok luar Jawa. Seperti di perkebunan karet dan tembakau di pantai timur Sumatera.
            Saat itu Daendles khawatir akan kemampuaan pemerintahannya di dalam menahan ekspansi Inggris yang juga mengincar wilayah Hindia Belanda. Ia khawatir melihat kenyataan sedikitnya jumlah orang Eropa yang berdiam di Hindia Belanda yang bisa dikerahkan untuk menghadapi tentara Inggris bila datang menyerang. Ia beranggapan, sedikitnya jumlah orang Eropa di Kepulauan Nusantara dianggap sebagai kelemahan serius Pemerintahan Belanda.
            Usaha Daendles untuk melipatgandakan kedatangan orang Eropa ke Batavia ternyata tidak efektif. Mau tidak mau ia akhirnya mengarahkan perekrutan tentaranya ke masyarakat di Hindia Belanda. Nah, pada saat itulah dia kemudian terkejut ketika melihat kenyataan banyaknya orang Indo hasil dari kawin campur dan pergundikan yang begitu luas tersebar hingga kalangan pejabat tinggi. Tak cukup dengan itu, Daendels pun semakin merasa heran akan banyaknya anak yang lahir dari hubungan campur yang kebanyakan dari mereka kemudian ditelantarkan sang ayah Eropanya.
            Sadar akan fenomena meluasnya pergundikan itu sekaligus demi menyelamatkan kepentingan kekuasaan kolonial-terutama untuk memperoleh anggota tentaranya-maka Daendles kemudian melakukan pengesahan anak-anak Eurasia secara hukum. Anak-anak dari para nyai ini kemudian diakui secara resmi oleh ayah Eropanya. Ini dilakukan Daendels dengan harapan bahwa mereka nanti ketika sudah menjadi tentara akan setia kepadanya.
            Pada masa yang sekarang ini, meski bentuk kekuasaan banyak mengklaim dirinya sudah lebih beradab, tetapi dalam soal `yang satu ini’ situasinya juga tak jauh beda dengan masa-masa kerajaan atau kediktatoran di masa lalu. Pelibatan seks dalam jaringan kekuasaan terlihat berkelindan secara nyata. Ini bisa dilihat dengan terus munculnya berbagai kasus pejabat negara yang terkungkung dalam persoalan skandal seks. Tak tanggung, tak hanya ceritanya yang keluar dalam berbagai versi tulisan di media massa, gambar hidup melalui video pun sudah bertebaran ke publik. Tak hanya beberapa politisi parlemen dan petinggi negara masa kini saja yang terlibat, beberapa aksi dari pejabat daerah sempat pula tersebar luas. Dunia memang tak suci. Tak peduli itu pejabat maupun rakyat jelata, kalau masih dapat disebut manusia, mereka pasti bukan malaikat yang tak punya nafsu. Penyalahgunaan seks yang sejatinya bisa saja hanya sebatas “kegiatan rekreasi“ tiba-tiba menjadi semakin bernilai dramatis, bila aktor-aktor pelakunya adalah sosok yang berada dalam lingkar kekuasaan.

DAFTAR PUSTAKA


Ricklefs, M.C. 1991. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
Baay, Reggie. 2010. Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda. Jakarta : Komunitas Bambu.
Hellwig, Tinneke. 2007. Citra Kaum Perempuan di Hindia Belanda, Jakarta : Yayasan Obor.






[1]    Tinneke Hellwig, Citra Kaum Perempuan di Hindia Belanda, (Jakarta: Yayasan Obor: 2007), hlm. 38. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar