GUNDIK
PADA MASA KOLONIAL
Periode
kolonialisasi Belanda di kepulauan nusantara menghadirkan beragam kisah pilu
yang menggugah rasa kemanusiaan. Pada
sekitar abad ke-19, pada masa penjajahan Belanda di Hindia Belanda, ada suatu
peristiwa yang mungkin tidak banyak orang mengetahuinya, dimana adanya hubungan
antara orang Belanda dengan orang pribumi. Namun, dalam hubungan tersebut
tidaklah bersifat formal maupun terbuka, sifat hubungan tersebut cenderung
lebih dari tetutup dan mungkin lebih bersifat pribadi. Gundik, banyak yang
menyebut sebagai istri tak resmi, perempuan simpanan, atau yang lebih ekstrem
istri yang difungsikan sebagai pelepasan nafsu birahi. Kalau raja-raja Jawa
dahulu banyak pula mempunyai gundik perempuan pedesaan. Meski para raja sudah mempunyai
istri utama atau pertama, seringkali masih mencari perempuan lain yang
dijadikan sebagai perempuan lain dalam melanggengkan kursi kerajaannya. Inilah
yang disebut sebagai selir. Sedangkan istri utama banyak yang menyebut sebagai
permaisuri yang notabene keturunan dari permaisuri inilah yang akan
melanggengkan kerajaannya.
Adanya
laki-laki yang mempunyai lebih dari satu istri atau gundik ini karena banyak
faktor. Salah satunya karena faktor superior laki-laki dibanding perempuan
waktu itu. Karena lemahnya perempuan, rendahnya pendidikan, ketidakberdayaan
wanita karena fungsi wanita hanya sebagai pengasuh anak dan berkutat pada apa
yang dinamakan sumur, kasur dan dapur.
Pada
masa VOC, batasan boleh atau tidaknya menikah adalah berdasar agama Kristen atau
non Kristen. Akan tetapi, dibuatlah undang-undang pada tahun 1848, yang
menghilangkan batasan agama untuk pernikahan. Oleh karenanya, orang Eropa boleh
menikahi orang Asia dengan
syarat mematuhi hukum eropa yang berlaku. Mahalnya biaya untuk formalitas
perempuan asia yang ingin “berpindah” menjadi Eropa menyebabkan praktik
perbudakan sebagai gundik masih banyak terjadi.
Pada
1622 untuk kali pertama para perempuan Belanda yang berasal dari rumah-rumah
yatim piatu datang untuk memenuhi kebutuhan para pegawai Belanda. Akan tetapi,
politik pengantin perempuan kulit putih ini menimbulkan protes di Belanda
maupun koloninya. Mereka khawatir perkawinan itu akan menciptakan trekker, yang hanya memikirkan
kepentingan pribadi dan kembali ke tanah air dengan istri dan anak mereka
begitu mengumpulkan uang.
Hereen
XVII akhirnya meninjau ulang proyek itu. Selain tak bisa memenuhi permintaan,
biaya pengirimannya mahal dan keberadaan perempuan di atas kapal memperburuk
disiplin. Selain itu, perkawinan suami-istri Belanda di Hindia seringkali
mandul. Belajar dari Portugis, Hereen XVII menganjurkan orang-orang Belanda
kawin dengan perempuan-perempuan Hindia agar tercipta masyarakat mestizo (campuran) yang patuh
di Batavia. Sekalipun terjadi perkawinan resmi, pergundikan tetap tumbuh subur.
Gambar : mestizo
sumber : www.google.com/mestizo.
Selain
menerapkan politik perkawinan, penguasa VOC membuat aturan terkait relasi
seksual dan gender. Pelanggaran seksual dianggap kejahatan serius. Dalam banyak
kasus, pelanggaran seksual dituduhkan kepada para gundik. Umumnya kasus-kasus
itu dikaitkan dengan racun dan jampi-jampi.
Pada masa Kolonial para simpanan
tersebut banyak di sebut dengan Nyai yang berkonotasi negatif, berbeda dengan
sebutan Nyai pada masa sekarang ini, nyai pada masa sekarang ini lebih
berkonotasi positif, seperti istri Kiai, perempuan yang lebih dibesarkan
(perempuan yang memiliki nama di antara masyarakat sekitar). Kata “Nyai” yang
merupakan istilah yang biasa digunakan untuk panggilan seorang gundik ini dikenal
di Jawa, Sunda dan Bali. Keberadaan kata yang telah ada sejak zaman VOC ini
diperkirakan berasal dari Bali karena pada waktu itu Bali adalah pemasok budak.[1] Budak-budak
inilah yang kemudian menjadi gundik di waktu selanjutnya, karena peraturan yang
menyatakan dihapusnya perbudakan tahun 1860.
gambar : Nyai, Suami, dan Anaknya.
Nyai, oleh karenanya dapat dikatakan
berasal dari status paling bawah-masyarakat paling miskin. Selama ini mereka menjadi nyai
dinilai karena kepentingan meterial, atau dipaksa. Nyai pada
dasarnya pembantu rumah tangga yang menjadi menjadi pengatur kehidupan domestik
para tuannya: memasak makanan, membersihkan rumah, dan melayani
kebutuhan seks, serta
mereka juga bersolek dengan pakaian khusus para nyai sebagai simbol
status. Para nyai tak memiliki hak secara resmi. Jika ia disuruh pergi keluar
rumah majikannya, mau tak mau ia harus pergi dengan tangan kosong. Kondisi itu
berbeda jika ia sempat membuat perjanjian dengan tuan sekaligus
"suaminya" itu. Mereka mencegah para tuannya agar tidak
mengunjungi tempat-tempat pelacuran, sehingga dapat mengurangi terjadinya
penyakit kelamin. Tanpa hak, seorang nyai tak mendapat perlindungan sama sekali
dari perlakuan merugikan pasangannya yang majikannya itu. Padahal, kebanyakan
lelaki Eropa yang merasa superior, karena kulit putihnya membenarkan diri untuk
berbuat kasar kepada penduduk pribumi, termasuk nyainya. Menjadi seorang nyai,
merupakan suatu tekanan tersendiri, karena adanya desakan ekonomi dari pihak
perempuan pribumi. Selain itu pula, nyai mendapatkan beberapa dampak berupa
psikologis, ekonomi, sosial serta budaya.
Ketika pegawai perkebunan Belanda
harus lajang, karena
keberadaan perempuan (Eropa) dinilai akan menambah biaya hidup yang dikeluarkan
oleh perkebunan dan akan mengganggu aktivitas mereka dalam bekerja, maka disarankan
agar mereka memelihara
nyai di rumah. Pergundikan dan
pelacuran adalah realitas sehari-sehari di kalangan tentara. Mereka hidup di
tangsi-tangsi bersama nyai, disamping ada juga tentara pribumi yang hidup
bersama istri dan anak-anaknya.
Nyai boleh dikatakan tidak memiliki
hak atas apapun, atas anak yang dilahirkannya dari hasil “samenleven”, bahkan ketika sang imigran itu secara resmi
menikahinya. Tak
jarang suami membatasi ibu pribumi untuk bertemu dengan anaknya karena mereka
berada di tempat yang berbeda untuk dididik secara barat. Ketika sang imigran
menikah dengan perempuan Eropa, nasib anak nyai semakin dilematis, diakui
menjadi bagian dari kelompok Eropa, hidup bersama ibu tiri, ataukah tidak
diakui dan kembali bersama ibu kandungnya menyandang gelar pribumi.
Perlakuan
diskriminatif juga dialami perempuan burgher (orang bebas) yang berhubungan seks dengan seorang
budak dianggap pembalikan peran seksual yang tak bisa diterima. Jika lelaki
Eropa bisa melakukan poligami, perempuan bersuami tak boleh melakukan praktik
bigami. Selain pembiaran terhadap pergundikan, Batavia juga tak bisa sepenuhnya
mengontrol perilaku seksual personelnya. Komandan garnisun VOC yang ditempatkan
di Kartasura pada 1682 melaporkan serdadu-serdadu VOC memperkosa
perempuan-perempuan Jawa di rumah mereka. Seringkali hal ini menjadi masalah,
terlihat dari suatu perjanjian yang mengatur hubungan VOC dan Banten pada
Februari 1686. Isinya antara lain mewajibkan Batavia agar mengusahakan
pegawai-pegawai VOC di Banten tak melakukan pendekatan tak senonoh kepada
perempuan-perempuan Banten di rumah atau jalan-jalan serta tak menonton sultan
atau perempuan-perempuan saat sedang mandi di sungai.
Praktik penyimpang seksual,
pergundikan pejabat, menjadi hal wajar di masa kolonial. Batavia yang menjadi
pusat kekuasaan Hindia Belanda sempat disebut sebagai kota para nyai atau
gundik. Ini karena pada masa itu banyak ditemukan nyai beserta anaknya. Dunia
pergundikan pernah eksis di nusantara, bahkan ini terjadi di pusat kekuasaan
Hindia Belanda, yakni di Batavia. Pada awal 1800, bertepatan dengan bubarnya
kongsi dagang B VOC dan diangkatnya Herman Willem Daendles sebagai gubernur
jenderal, di sana didapatkan kenyataan maraknya dunia pergundikan atau
pernyaian di kota ini. Bahkan praktik ini tidak hanya berlangsung dalam
benteng, tangsi militer tapi juga di perkebunan di pelosok luar Jawa. Seperti
di perkebunan karet dan tembakau di pantai timur Sumatera.
Saat itu Daendles khawatir akan kemampuaan pemerintahannya di dalam menahan ekspansi Inggris yang juga mengincar wilayah Hindia Belanda. Ia khawatir melihat kenyataan sedikitnya jumlah orang Eropa yang berdiam di Hindia Belanda yang bisa dikerahkan untuk menghadapi tentara Inggris bila datang menyerang. Ia beranggapan, sedikitnya jumlah orang Eropa di Kepulauan Nusantara dianggap sebagai kelemahan serius Pemerintahan Belanda.
Saat itu Daendles khawatir akan kemampuaan pemerintahannya di dalam menahan ekspansi Inggris yang juga mengincar wilayah Hindia Belanda. Ia khawatir melihat kenyataan sedikitnya jumlah orang Eropa yang berdiam di Hindia Belanda yang bisa dikerahkan untuk menghadapi tentara Inggris bila datang menyerang. Ia beranggapan, sedikitnya jumlah orang Eropa di Kepulauan Nusantara dianggap sebagai kelemahan serius Pemerintahan Belanda.
Usaha Daendles untuk melipatgandakan
kedatangan orang Eropa ke Batavia ternyata tidak efektif. Mau tidak mau ia
akhirnya mengarahkan perekrutan tentaranya ke masyarakat di Hindia Belanda.
Nah, pada saat itulah dia kemudian terkejut ketika melihat kenyataan banyaknya
orang Indo hasil dari kawin campur dan pergundikan yang begitu luas tersebar
hingga kalangan pejabat tinggi. Tak cukup dengan itu, Daendels pun semakin
merasa heran akan banyaknya anak yang lahir dari hubungan campur yang
kebanyakan dari mereka kemudian ditelantarkan sang ayah Eropanya.
Sadar akan fenomena meluasnya
pergundikan itu sekaligus demi menyelamatkan kepentingan kekuasaan
kolonial-terutama untuk memperoleh anggota tentaranya-maka Daendles kemudian
melakukan pengesahan anak-anak Eurasia secara hukum. Anak-anak dari para nyai
ini kemudian diakui secara resmi oleh ayah Eropanya. Ini dilakukan Daendels
dengan harapan bahwa mereka nanti ketika sudah menjadi tentara akan setia
kepadanya.
Pada masa yang sekarang ini, meski
bentuk kekuasaan banyak mengklaim dirinya sudah lebih beradab, tetapi dalam
soal `yang satu ini’ situasinya juga tak jauh beda dengan masa-masa kerajaan
atau kediktatoran di masa lalu. Pelibatan seks dalam jaringan kekuasaan
terlihat berkelindan secara nyata. Ini bisa dilihat dengan terus munculnya
berbagai kasus pejabat negara yang terkungkung dalam persoalan skandal seks.
Tak tanggung, tak hanya ceritanya yang keluar dalam berbagai versi tulisan di
media massa, gambar hidup melalui video pun sudah bertebaran ke publik. Tak
hanya beberapa politisi parlemen dan petinggi negara masa kini saja yang
terlibat, beberapa aksi dari pejabat daerah sempat pula tersebar luas. Dunia
memang tak suci. Tak peduli itu pejabat maupun rakyat jelata, kalau masih dapat
disebut manusia, mereka pasti bukan malaikat yang tak punya nafsu.
Penyalahgunaan seks yang sejatinya bisa saja hanya sebatas “kegiatan rekreasi“
tiba-tiba menjadi semakin bernilai dramatis, bila aktor-aktor pelakunya adalah
sosok yang berada dalam lingkar kekuasaan.
DAFTAR PUSTAKA
Ricklefs, M.C. 1991. Sejarah Indonesia Modern.
Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
Baay, Reggie. 2010. Nyai dan Pergundikan di Hindia
Belanda. Jakarta : Komunitas Bambu.
Hellwig, Tinneke. 2007. Citra Kaum Perempuan di
Hindia Belanda, Jakarta : Yayasan Obor.
[1] Tinneke Hellwig, Citra Kaum Perempuan di
Hindia Belanda, (Jakarta: Yayasan Obor: 2007), hlm. 38.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar