SEJARAH INDUSTRI REKAMAN INDONESIA
· Munculnya musik ngak ngik ngok (jazz dan
klasik) di Hindia Belanda
Pada
awal abad ke 20 Indonesia mulai memasuki awal perkembangan industri piringan
hitam. Orang Indonesia yang dekat dengan orang Belanda sering diperdengarkan
lagu-lagu Barat seperti jazz dan klasik sehingga mereka dapat belajar musik.
Orang Tionghoa merupakan orang yang dekat Belanda sehingga mereka sering
dperdengarkan lagu-lagu Barat. Tio Tek Hong adalah salah seorang saudagar
Tionghoa asal Kota Baroe yang memperdagangkan aneka barang kelontong melihat
peluang untuk membuat sebuah industri musik dengan namanya sendiri.
· Awal berdirinya Tio Tek Hong Record
Pada
tahun 1903 industri rekaman piringan hitam (Tio Tek Hong) mulai berdiri. Dalam
mengembangkan usahanya ini Tio tek Hong mengalami kendala, sulitnya mendapat
piringan hitam karena pengiriman memerlukan waktu yang cukup lama di kala itu.
Akibatnya, mereka tidak dapat mengikuti perkembangan musik baru dengan baik.
Tidak ingin menunggu lama untuk mengikuti perkembangan musik, akhirnya ia lebih
memilih untuk mendengar para musisi Indonesia yang merekam kepiawaian mereka
dalam bermusik. “Tio Tek Hong” menjadi pelopor industri musik rekaman di
Indonesia. Perusahaan rekaman asal Batavia ini tercatat telah merekam
penyanyi-penyanyi tanah air. Ada satu hal yang menarik dari piringan hitam
produksi Tio Tek Hong ini, di setiap piringan hitamnya Tio Tek Hong selalu
menempelkan watermark-nya yang berbunyi “terbikin oleh Tio Tek Hong Batavia”.
Kelebihan
dari piringan hitam dibanding media perekam suara lain adalah suaranya yang
lebih jernih, oleh karena itu piringan hitam mempunyai banyak penikmat musik.
Akan tetapi karena harganya relatif mahal pembeli piringan hitam saat itu
memang sangat terbatas. Belum lagi harga gramophone yang hanya terjangkau oleh
kalangan menengah keatas. Karenanya sebagian besar masyarakat lebih memilih
untuk menikmati rangkaian lagu-lagu populer Indonesia saat itu dengan menonton
pertunjukan yang digelar dan berlangsung di panggung-panggung hiburan yang
berada di Pasar Gambir.
· Puncak kejayaan Tio Tek Hong Record
Munculnya
berbagai penyanyi wanita waktu itu membuat industri rekaman Tio Tek Hong
berjaya. Hal ini dikarenakan Tio Tek Hong record merupakan satu-satunya
industri rekaman yang ada pada waktu itu. Hanya dalam kurun waktu lima tahun
dari mulai berdiri Tio Tek Hong record sudah bisa mengirim piringan hitamnya ke
berbagai daerah di Hindia Belanda. Para penyanyi wanita yang ada di zaman
Hindia Belanda disebut crooner bukan singer bahkan di depan nama para penyanyi
wanita di beri embel-embel seperti Miss Tjitjih, Miss Riboet, Miss Roekiah,
Miss Dja dan seterusnya. Dan ini berlangsung hingga akhir era 1940an. Mungkin
hampir sama dengan keadaan sekarang ini dimana hampir semua penyanyi wanita bersematkan
predikat diva.
Adapun
lagu-lagu yang direkam Tio Tek Hong mencakupi jenis Stambul, Keroncong, Gambus,
Kasidah,Musik India, Swing hingga Irama Melayu. Penyanyi dan kelompok musik
yang direkam Tio Tek Hong Record cukup beragam. Untuk musik keroncong ada
Orkest Krontjong Park, Orkest Moeridskoe, Krontjong Sanggoeriang, Kerontjong
Aer Laoet, Krontjong Deca Park. Untuk musik Kasidah ada Kasida Sika Mas, Orkese
Gamboes Metsir, Kasida Rakbie Mas, Gamboes Boea Kana serta Gamboes Turkey.
Lagu-lagu yang populer saat itu antara lain Tjente Manis, Boeroeng Nori, Djali
Djali, Tjerai Kasih, Paioeng Patah, Dajoeng Sampan, Kopi Soesoe, Sang Bango,
Inang Sargie, Gelang Pakoe Gelang dan masih banyak lagi. Lagu-lagu ini direkam
dalam bentuk vinyl berukuran 10 inci. Disamping itu Tio Tek Hong Record juga
merekam sandiwara Njai Dasima yang dikemas dalam boxset berisikan sebanyak 5
keping piringan hitam.
· Turunnya pamor Tio Tek Hong Record
Saat
Jepang mengambil alih Indonesia adalah awal dari turunnya pamor Tio Tek Hong records.
Jepang saat itu mendominasi dengan musik-musik propagandanya dan mencoba untuk
membuang hal-hal yang berbau kebarat-baratan. Karena hal inilah Tio Tek Hong
record seakan hilang. Akan tetapi, setelah merdekanya Indonesia banyak
bermunculan industri rekaman suara-suara lain seperti Irama, Beka, dan industri
rekaman suara pemerintah lokananta yang khusus untuk memproduksi musik-musik
tradisional, selain itu muncul juga industri rekaman keluarga widjaja yang
menjadi cikal bakal industri rekaman terbesar di Indonesia yaitu musica studio.
· Onghokham.
2008. Anti Cina, Kapitalisme Cina dan Gerakan Cina: Sejarah Etnis Cina di
Indonesia. Jakarta: Komunitas Bambu.
· Tio
Tek Hong. 2006. Keadaan Jakarta Tempo Doeloe (sebuah kenangan 1892-1959).
Jakarta : Komunitas Bambu.
· Japi
Tambayong. 1992. Ensiklopedia musik (jilid 1 & 2). Jakarta: PT.
Cipta Adi Pustaka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar