Senin, 05 Desember 2016

Monumen Pers Nasional

Semula gedung ini adalah sebuah societiet milik kerabat Mangkunegaran, gedung ini dibangun atas prakarsa KGPAA. Sri Mangkunegoro VII, pada tahun 1918 dan diperuntukkan sebagai balai pertemuan. Gedung ini dirancang oleh arsitek Jawa terkenal bernama Mas Abu Kasan Atmodirono. Gedung ini juga pernah menjadi Markas Besar Palang Merah Indonesia (PMI).

Pada tahun 1933 di Gedung Societeit (awal sebelum berubah nama menjadi Monumen Pers Nasional) diadakan rapat yang dipimpin oleh R.M. Ir. Sarsito Mangunkusumo yang melahirkan stasiun radio baru yang bernama Solosche Vereeniging (SRV) sebagai radio pertama kaum pribumi dengan semangat kebangsaan.
Di gedung ini pula, organisasi profesi kewartawanan pertama yaitu PWI (Persatuan Waratawan Indonesia) terbetuk pada 9 Pebruari 1946, tanggal ini ditetapkan sebagai hari lahir Persatuan Wartawan Indonesia dan Hari Pers Nasional. Untuk memperingati peristiwa pers bersejarah tersebut, maka PWI dengan restu presiden dan dukungan pemerintah dan masyarakat, menetapkan bekas gedung “Sasana Soeka” tersebut untuk dijadikan Monumen Pers Nasional.
Pada peringatan 1 dasawarsa PWI 9 Pebruari 1956, tercetuslah suatu gagasan mendirikan Yayasan Museum Pers Indonesia. Gagasan ini dicetuskan oleh B.M. Diah, S. Tahsin, Rosihan Anwar, dan lain-lain, yang akhirnya terwujud pada 22 Mei 1956, dengan pengurusnya antara lain R.P. Hendro, Kaidono, Sawarno Prodjodikoro, Mr. Soelistyo, Soebekti, dengan modal utamanya waktu itu koleksi buku dan majalah milik Soedarjo Tjokrosisworo. Kemudian pada kongres di Palembeng pada tahun 1970 muncullah niat mendirikan “Museum Pers Nasional”.
Dalam peringatan seperempat abad PWI 9 Pebruari 1971, Menteri Penerangan Budiardjo menyatakan pendirian Museum Pers Nasional di Surakarta, dan pada kongres di Tretes tahun 1973, nama Museum Pers Nasional yang dicetuskan di Palembang, diubah menjadi Monumen Pers Nasional atas usul PWI cabang Surakarta.
Selanjutnya berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Tengah nomor HK.128/1977 tertanggal 31 Desember 1977 atas tanah dan gedung “Societeit” tersebut diserahkan kepada Panitia Pembagunan Monumen Pers Nasional dibawah Departemen Penerangan RI. Atas prakarsa Menteri Penerangan ali Moertopo, yang mendapat dukungan dari Asosiasi Importir Film Kelompok Eropa-Amerika, terwujudlah gedung Monumen Pers Nasional yang terdiri dari dua unit bangunan 2 lantai, satu unit bangunan 4 lantai, disamping penyempurnaan dan pemugaran gedung utama.
Akhirnya pada tanggal 9 Pebruari 1978 Presiden Soeharto meresmikan gedung Societiet Sasana Soeka menjadi Monumen Pers Nasional dengan penanda tanganan prasasti. Gedung Monumen Pers Nasional tersebut selanjutnya dikelola oleh Yayasan Pengelola Sarana Pers Nasional yang berada di bawah Departemen Penerangan sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Penerangan RI No.145/KEP/MENPEN/1981 tanggal 7 Agustus 1981. Yayasan ini bertugas mengatur dan mengorganisir fungsi dan pemeliharaan sarana-sarana Pers Nasional termasuk gedung Dewan Pers di Jakarta dan Monumen Pers Nasional di Surakarta.
Setelah Departemen Penerangan dilikuidasi, Monumen Pers Nasional menginduk ke BIKN (Badan Informasi Komunikasi Nasional), dan dalam perkembangan berikutnya pada tahun 2002 Monumen Pers Nasional ditetapkan menjadi Unit Pelaksana Teknis (UPT) Lembaga Informasi Nasional berdasarkan Surat Keputusan Kepala Lembaga Informasi Nasional No.:37/SK/KA.LIN/2002 tanggal 19 Juni 2002. Kemudian pada tahun 2005 berada di bawah Direktorat Jenderal Sarana Komunikasi dan Diseminasi Informasi sesuai denga Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika RI No.:21/Per/M.Kominfo/4/2007 tanggal 30 April 2007. Kemudian mulai tanggal 16 Maret 2011 melalui Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika No.:06/PER/M.KOMINFO/03/2011 tentang Organisasi dan Tata Kerja Monumen Pers Nasional diputuskan bahwa Monumen Pers Nasional adalah Unit Pelaksana Teknis di lingkungan Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika.
Monumen Pers Nasional terdiri atas empat bangunan gedung permanen seluas 2998 m2 terdiri dari satu gedung induk sebagai Convention Hall, dua unit gedung berlantai dua dan satu unit gedung berlantai empat masing-masing untuk perkantoran, ruang pameran, ruang perpustakaan, ruang dokumentasi konservasi danpreservasi koleksi serta Hellipad. Gerbang Monumen Pers Nasional ditandai dengan hiasan empat kepala dan badan naga telentang dinamakan Catur Manggala Kura menandai Suryo Sengkala : Muluking Sedya Habangun Negara yang artinya tahun 1980 merupakan angka tahun selesainya seluruh pembangunan gedung Monumen Pers Nasional.
Di belakang naga atau di teras diletakkan sebuah kenthongan besar melambangkan alat informasi dan komunikasi pada jaman dahulu. Kenthongan ini dinamakan Kyai Swara Gugah.

Ruang Seminar


Ruang seminar atau Convention Hall, di dalam ruangan ini berisi beberapa contoh gambar surat kabar yang terbit di Indonesia dan beberapa majalah pada tempo dulu. Di ruangan ini pula terdapat patung tokoh – tokoh perintis pers Indonesia, lalu terdapat prasasti peresmian Monumen Pers Nasional yang ditanda tangani Presiden Soeharto dan Radio Kambing ysng digunakan oleh para pejuang pada saat revolusi phisik ( class II tahun 1948 ).

 Ruang Pendokumentasian Benda Sejarah

Di dalam ruangan ini berisi berbagai benda terkait pers Indonesia, di antaranya contoh majalah dan surat kabar tempo dulu, mesin ketik milik wartawan tiga jaman Bakrie Suriatmadja, alat terjuan payung milik wartawan TVRI saat meliput gerhana matahari di tanjung kodok, pakaian wartawan TVRI Hendro Subroto yang tertembak ketika meliput Integrasi Timor Timur ke Indonesia, piagam dan buku milik Trisnoyuwono, diorama sejarah pers Indonesia, dan skema persebaran media. 

                   Ruang Perpustakaan

Perpustakaan Monumen Pers Nasional memiliki koleksi buku sejumlah 12.000. Buku-buku koleksinya seputar media massa, komunikasi, penerbitan, jurnalisme, serta beberapa koleksi skripsi dan majalah. Keanggotaan perpustakaan terbuka untuk umum. Saat ini anggotanya terdiri dari pelajar, mahasiswa, dosen, peneliti, pegawai negeri sipil, dan masyarakat umum yang dapat memanfaatkan seluruh buku yang ada. 

1.                        Ruang  Pendokumentasian Koleksi Media Cetak

Lebih dari satu juta eksemplar sampel media cetak yang terbit dari seluruh Indonesia sejak jaman penjajahan Belanda hingga saat ini di dokumentasikan. Dikonservasi dan disajikan kepada pengunjung di Monumen Pers Nasional. Beberapa jenis koran dan majalah kuno yang cukup menarik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar