KEBEBASAN PERS PADA ERA REFORMASI
Pada masa
pemerintahan Presiden Soekarno dan masa pemerintahan Presiden Soeharto
kegiatan pers sangat
dibatasi oleh kepentingan pemerintah. Pers dipaksa untuk memuat setiap berita
harus tidak boleh bertentangan dengan pemerintah, di era pemerintahan Soekarno
dan Soeharto, kebebasan pers ada, tetapi lebih terbatas untuk memperkuat status
quo, ketimbang guna membangun keseimbangan antarfungsi eksekutif, legislatif,
yudikatif, dan kontrol publik (termasuk pers). Karenanya, tidak mengherankan
bila kebebasan pers saat itu lebih tampak sebagai wujud kebebasan (bebasnya)
pemerintah, dibanding bebasnya pengelola media dan konsumen pers, untuk
menentukan corak dan arah isi pers.
Pemberitaan
pers tentang peristiwa 15 Januari 1994 (Malari) menyebabkan 11 surat kabar
terkemuka ditutup untuk selamanya oleh rezim Soeharto. Surat kabar itu, antara
lain : Nusantara, Pedoman, Indonesia Raya, Abadi, Jakarta Times, dan Mahasiswa
Indonesia (Bandung). Disini terlihat sekali kekuasaan Soeharto yang otoriter dalam
melakukan segala cara agar kekuasaannya aman. Dalam periode ini walaupun sistim
politik bergeser ke langgam otoriter tetapi pers mahasiswa tetap berani
merefleksikan kenyataan yang hidup dalam masyarakat, melakukan kritik sosial,
serta melancarkan kritik tajam pada pembuat kebijaksanaan pemerintah. Sebagai
contoh dapat dilihat berita halama I “Salemba” No. 40. September 1997 : “Awan
Mendung di Negeri ini Apakah Hujan Darah Akan Menyusul”. Isi pers mahasiswa
diakhir tahun 1977 dan diawal tahun 1978 sangat berhubungan erat dengan situasi
politik, ketika itu menjelang sidang umum MPR, merupakan suatu momentum buat
geraka - gerakan politik termasuk
gerakan – gerakan mahasiswa. Pers mahasiswa ketika itu dengan berani
merefleksikan kenyataan yang hidup itu.
Pada tahun
1978, tujuh surat kabar ibu kota juga dibredel. Begitu hebatnya tekanan-tekanan pada pers umum saat itu sehingga para Pemimpin Redaksi dari tujuh media
masa tersebut, antara lain : Jakob Oetama (Kompas), R.P. Hendro (The Indonesia
Times), H.M. Said Budairy (Pelita), Soebagio Pr. (Sinar Harapan), Tribuana Said
(Merdeka), Charly T. Siahaan (Sinar Pagi), dan H.S. Abiyasa (Pos Sore) pada 26
Januari 1978 secara bersama -sama mengirim “surat permintaan maaf “ kepada
Presiden Soeharto sesudah media mereka dilarang terbit oleh Kopkamtib. Dalam
surat yang berisi permintaan izin untuk menerbitkan kembali itu juga tertera
persetujuan dari Ketua Pelaksanaan Pengurus Persatuan Wartawan Indonesia Pusat,
Harmoko dan Ketua Umum Serikat Penerbit Surat Kabar Pusat, Djamal Ali. Dilihat
dari penyerahan surat permintaan maaf ini kita bisa menyimpulkan bahwa Pers
pada waktu itu sudah tidak mempunyai kekuatan melawan pemerintah. Mereka akhirnya
menyerah kepada pemerintah dan secara praktis mereka membelenggu kebebasan
mereka sendiri dengan menyatakan diri tunduk kepada rezim Soeharto. Sedangkan
pada pers mahasiswa mereka mencapai puncaknya pada masa ini, tetapi karena
keberaniannya merefleksikan kenyataan yang hidup, dan melontarkan kritik sosial
yang tajam akibatnya pers mahasiswa pun dibreidel oleh penguasa. Hal ini
terjadi pada Salemba, Kampus, dan Mahasiswa Indonesia pada masa kondisi
obyektif politik bersifat otoriter.
Mahasiswa
banyak berperan dalam masa transisi antara era orde baru dan era reformasi
mereka banyak menyuarakan reformasi pada masa orde baru. Ketidakpuasan
mahasiswa terhadap moralitas penguasa politik pada saat Orde Baru, telah
menyulut berbagai pergerakan melawan tembok kekuasaan yang sangat kuat. Sikap
represif para penguasa Orde Baru menyebabkan banyak mahasiswa yang ditangkap,
tindakan seperti ini seakan mengaborsi lahirnya pemikiran-pemikiran kritis
mahasiswa ketika itu. Titik kulminasi pergerakan mahasiswa pada saat orde baru
terjadi tahun 1998. Kontradiksi politik dan sosial selama Orde Baru telah
menyulut gelombang perlawanan mahasiswa secara frontal. Di samping itu,
hantaman kuat krisis ekonomi yang dialami bangsa Indonesia pada saat itu, telah
membuat semua pihak menaruh mosi tidak percaya atas kebijakan penguasa. Idealisme
mahasiswa yang terkubur selama 32 tahun telah mengalami kebangkitan pada bulan
Mei 1998, yang ditandai oleh runtuhnya rezim Orde Baru. Berbagai peristiwa
tersebut membuktikan betapa mahasiswa talah menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dari sejarah bangsa. Pemberontakan mahasiswa pada era orde baru
dapa dilihat pada berita yang terdapat dikoran – koran yang sebagian besar
memuat tentang amukan mahasiswa dan demo – demo dari mahasiswa.
Suatu
pencerahan datang kepada kebebasan pers, setelah runtuhnya rezim Soeharto pada
tahun 1998. Pada saat itu rakyat menginginkan adanya reformasi pada segala
bidang baik ekonomi, sosial, budaya yang pada masa orde baru terbelenggu.
Tumbuhnya pers pada masa reformasi merupakan hal yang menguntungkan bagi
masyarakat. Kehadiran pers saat ini dianggap sudah mampu mengisi kekosongan
ruang publik yang menjadi celah antara penguasa dan rakyat. Dalam kerangka ini,
pers telah memainkan peran sentral dengan memasok dan menyebarluaskan informasi
yang diperluaskan untuk penentuan sikap, dan memfasilitasi pembentukan opini
publik dalam rangka mencapai konsensus bersama atau mengontrol kekuasaan
penyelenggara negara. Peran inilah yang selama ini telah dimainkan dengan baik
oleh pers Indonesia. Setidaknya, antusias responden terhadap peran pers dalam
mendorong pembentukan opini publik yang berkaitan dengan persoalan-persoalan
bangsa selama ini mencerminkan keberhasilan tersebut.
Pada
tanggal 21 Mei 1998 orde baru tumbang dan mulailah era reformasi. Tuntutan
reformasi bergema ke semua sektor kehidupan, termasuk sektor kehidupan pers.
Selama rezim orde lama dan ditambah dengan 32 tahun di bawah rezim orde baru,
pers Indonesia tidak berdaya karena senantiasa ada di bawah bayang-bayang
ancaman pencabutah surat izin terbit. Sejak masa reformasi tahun 1998, pers nasional
kembali menikmati kebebasan pers. Hal ini sejalan dengan alam reformasi,
keterbukaan, dan demokrasi yang diperjuangkan rakyat Indonesia. Akibatnya, awal
reformasi banyak bermunculan penerbitan pers atau koran, majalah, atau tabloid
baru. Di Era reformasi pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang
pers. Hal ini disambut gembira dikalangan pers, karena tercatat beberapa
kemajuan penting dibanding dengan undang-undang sebelumnya, yaitu Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 1982 tentang Pokok-Pokok Pers (UUPP).
Pertimbagangan
yang yang terdapat pada Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang pers :
a. bahwa kemerdekaan pers merupakan salah satu
wujud kedaulatan rakyat dan menjadi unsur yang sangat penting untuk menciptakan
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokratis, sehingga
kemerdekaan mengeluarkan pikiran dan pendapat sebagaimana tercantum dalam Pasal
28 Undang-undang Dasar 1945 harus dijamin.
b. bahwa dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara yang demokratis, kemerdekaan menyatakan pikiran dan
pendapat sesuai dengan hati nurani dan hak memperoleh informasi, merupakan hak
asasi manusia yang sangat hakiki, yang diperlukan untuk menegakkan keadilan dan
kebenaran, memajukan kesejateraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
c. bahwa pers nasional sebagai wahana komunikasi
massa, penyebar informasi, dan pembentuk opini harus dapat melaksanakan asas,
fungsi, hak, kewajiban, dan peranannya dengan sebaik-baiknya berdasarkan
kemerdekaan pers yang profesional, sehingga harus mendapat jaminan dan
perlindungan hukum, serta bebas dari campur tangan dan paksaan dari manapun.
d. bahwa pers nasional berperan ikut menjaga
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan
sosial.
e. bahwa Undang-undang Nomor 11 Tahun 1966
tentang Ketentuan- ketentuan Pokok Pers sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1967 dan diubah dengan Undang-undang Nomor 21 Tahun
1982 sudah tidak sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman.
f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, b, c, d, dan e, perlu dibentuk Undang-undang tentang
Pers.
Sedangkan pertimbangan untuk Undang
Nomor 21 Tahun 1982 tentang Pokok-Pokok
Pers (UUPP) :
“Bahwa
untuk melaksanakan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IV/MPR/1978
tentang Garisgaris Besar Haluan Negara khususnya bidang Penerangan dan Pers
dipandang perlu mengadakan perubahan atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 1966
tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1967.”
Disini bisa kita lihat sendiri
bahwa Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 merupakan perjuangan pers nasional
untuk memperjuangkan kemerdekaan mereka sebagai sarana mereka memberikan
informasi yang sesuai dengan kenyataan kepada masyarakat dan bukan merupakan
alat siapa pun juga, berbeda dengan Undang-undang Undang-Undang Nomor 21 Tahun
1982 yang hanya merubah kata – kata yang terdapat pada Undang-undang Nomor 4
Tahun 1967. Pada -Undang Nomor 40 Tahun 1999 para pejuang pers sepenuhnya
memberikan menuangkan aspirasi mereka pada undang – undang itu mereka
memberikannya
Setelah reformasi
bergulir tahun 1998, pers Indonesia mengalami perubahan yang luar biasa dalam
mengekspresikan kebebasan. Fenomena itu ditandai dengan munculnya media-media
baru cetak dan elektronik dengan berbagai kemasan dan segmen. Keberanian pers
dalam mengkritik penguasa juga menjadi ciri baru pers Indonesia. Pers yang
bebas merupakan salah satu komponen yang paling esensial dari masyarakat yang
demokratis, sebagai prasyarat bagi perkembangan sosial dan ekonomi yang baik.
Keseimbangan antara kebebasan pers dengan tanggung jawab sosial menjadi sesuatu
hal yang penting. Hal yang pertama dan utama, perlu dijaga jangan sampai muncul
ada tirani media terhadap publik. Sampai pada konteks ini, publik harus tetap
mendapatkan informasi yang benar, dan bukan benar sekadar menurut media. Pers
diharapkan memberikan berita harus dengan se-objektif mungkin, hal ini berguna
agar tidak terjadi ketimpangan antara rakyat dengan pemimpinnya mengenai
informasi tentang jalannya pemerintahan.
Pada masa
Reformasi pemerintah juga memberi kemudahan untuk memperoleh SIUPP. Akibat
kemudahan memperoleh SIUPP tersebut, jumlah pemohon SIUPP membengkak lebih dari
sepuluh kali lipat dibandingkan dengan masa Orde Baru. Kebijakan lain Pemerintah Kabinet Reformasi
dalam membuka peluang kebebasan pers adalah dengan mencabut SK Menpen Nomor 47
tahun 1975 tentang pengakuan pemerintah terhadap PWI sebagai satu-satunya
organisasi wartawan di Indonesia. Pencabutan SK ini, mengakhiri era wadah
tunggal organisasi kewartawanan, sehingga tidak sampai dalam satu tahun telah
tumbuh 34 organisasi wartawan cetak dan elektronik. Walaupun kehadirannya dapat
dipandang sebagai cerminan euphoria kebebasan, akan tetapi di pihak lain dapat
menjadi ajang kompetisi wartawan Indonesia meningkatkan profesionalitas mereka.
Pada masa
pemerintahan Abdurrahman Wahid, departemen penerangan yang dianggap mengekang
pers dibubarkan. Pemerintah tidak mempunyai ruang untuk mengekang pers. Pers
yang tadinya diawasi dengan ketat oleh pemerintah pada masa Reformasi
ditiadakan. Yang ada hanya Dewan Pers yang bertugas untuk mengawasi dan
menetapkan pelaksanaan kode etik, juga sebagai mediator antara masyarakat, Pers
dan pemerintah apabila ada yang dirugikan. Pers yang bebas merupakan salah satu
komponen yang paling esensial dari masyarakat yang demokratis, sebagai
prasyarat bagi perkembangan sosial dan ekonomi yang baik. Keseimbangan antara
kebebasan pers dengan tanggung jawab sosial menjadi sesuatu hal yang penting.
Hal yang pertama dan utama, perlu dijaga jangan sampai muncul ada tirani media
terhadap publik. Sampai pada konteks ini, publik harus tetap mendapatkan
informasi yang benar, dan bukan benar sekadar menurut media. Pers diharapkan
memberikan berita harus dengan se-objektif mungkin, hal ini berguna agar tidak
terjadi ketimpangan antara rakyat dengan pemimpinnya mengenai informasi tentang
jalannya pemerintahan.
Kendatipun
secara politik pers sudah memperoleh kebebasannya, dalam arti hilangnya kontrol
pemerintah, akan tetapi hambatan non politik berupa tekanan publik/oknum
pemerintah masih dialami oleh pers Indonesia. Sampai dengan April 1999,
terdapat sedikitnya 47 kasus intimidasi terhadap jurnalis berupa intimidasi dan
kekerasan fisik. Pelaksanaan kebebasan pers pada Era Reformasi dalam
kenyataannya masih banyak menghadapi kendala. Euforia kebebasan berpendapat dan
kebebasan berorganisasi, ditanggapi dengan banyaknya diterbitkan suratkabar
atau media, serta didirikannya partai-partai politik. Fenomena euphoria
kebebasan politik berdampak pada kualitas pelaksanaan kebebasan pers. Dalam realitasnya
keberhasilan gerakan Reformasi membawa pengaruh pada kekuasaan pemerintah jauh
berkurang, untuk tidak mengatakan tiada sama sekali terhadap pers. Pergulatan
pers dengan sebuah rezim seolah telah usai. Pada masa reformasi pers sepenuhnya
bergulat dengan pasar yang semakin membuat jaya kelompok-kelompok media yang
sudah mapan secara ekonomis di masa Orde Baru. Untuk sementara pers Indonesia
boleh bernafas lega dari tekanan politis sambil mencari keuntungan uang
sebanyak mungkin. Fenomena ini kemudian melahirkan gejala kelompok-kelompok
usaha media, seperti Gramedia Grup, Sinar Kasih Grup, Pos Kota Grup, Presindo
Grup, dan Grafiti / Jawa Pos Grup.
Sungguh
ironi, dalam sistem politik yang relatif terbuka saat ini, pers Indonesia
cenderung memperlihatkan performa dan sikap yang dilematis. Di satu sisi,
kebebasan yang diperoleh seiring tumbangnya rezim Orde Baru membuat media massa
Indonesia leluasa mengembangkan isi pemberitaan. Namun, di sisi lain, kebebasan
tersebut juga sering kali tereksploitasi oleh sebagian industri media untuk
mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya dengan mengabaikan fungsinya sebagai
instrumen pendidik masyarakat. Bukan hanya sekedar celah antara rakyat dengan
pemimpin, tetapi pers diharapkan dapat memberikan pendidikan untuk masyarakat
agar dapat membentuk karakter bangsa yang bermoral. Kebebasan pers dikeluhkan,
digugat dan dikecam banyak pihak karena berubah menjadi ”kebablasan pers”. Hal
itu jelas sekali terlihat pada media-media yang menyajikan berita politik dan
hiburan (seks). Media-media tersebut cenderung mengumbar berita provokatif,
sensasional, ataupun terjebak mengumbar kecabulan. Ada hal lain yang harus diperhatikan oleh
pers, yaitu dalam membuat informasi jangan melecehkan masalah agama, ras, suku,
dan kebudayaan lain, biarlah hal ini berkembang sesuai dengan apa yang mereka
yakini.
Sayangnya,
berkembangnya kebebasan pers juga membawa pengaruh pada masuknya liberalisasi
ekonomi dan budaya ke dunia media massa, yang sering kali mengabaikan unsur
pendidikan. Arus liberalisasi yang menerpa pers, menyebabkan Liberalisasi
ekonomi juga makin mengesankan bahwa semua acara atau pemuatan rubrik di media
massa sangat kental dengan upaya komersialisasi. Sosok idealisme nyaris tidak
tercermin dalam tampilan media massa saat ini. Sebagai dampak dari
komersialisasi yang berlebihan dalam media massa saat ini, eksploitasi terhadap
semua hal yang mampu membangkitkan minat orang untuk menonton atau membaca pun
menjadi sajian sehari-hari.
Sumber:
- Siregar, Amir Effendi. 1983. Pers Mahasiswa Indonesia Patah Tumbuh Hilang Berganti. Jakarta: PT Karya Unipress.
- Hidayat, Dedy N., Effendi Gazali, Harsono Suwardi, dan Ishadi S. K. 2000. Pers dalam Revolusi Mei Runtuhnya Sebuah Hegemoni. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
- Salemba. 23 Januari 1978. “Awan Mendung di Negeri ini Apakah Hujan Darah Akan Menyusul”.
- Serambi Indonesia. 22 Mei 1998. “Habibie Harus Akhiri Monopoli Anak Soeharto”.
- Serambi Indonesia. 22 Mei 1998. “Soeharto Mundur Pasar Bingung”.
- Serambi Indonesia. 7 mei 1998. “Halaman 1”.
- Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Kebebasan Pers.
- Undang Nomor 21 Tahun 1982 tentang Pokok-Pokok Pers (UUPP).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar