Senin, 05 Desember 2016

KEBEBASAN PERS PADA ERA REFORMASI

Pada masa pemerintahan Presiden Soekarno dan masa pemerintahan Presiden Soeharto kegiatan pers sangat dibatasi oleh kepentingan pemerintah. Pers dipaksa untuk memuat setiap berita harus tidak boleh bertentangan dengan pemerintah, di era pemerintahan Soekarno dan Soeharto, kebebasan pers ada, tetapi lebih terbatas untuk memperkuat status quo, ketimbang guna membangun keseimbangan antarfungsi eksekutif, legislatif, yudikatif, dan kontrol publik (termasuk pers). Karenanya, tidak mengherankan bila kebebasan pers saat itu lebih tampak sebagai wujud kebebasan (bebasnya) pemerintah, dibanding bebasnya pengelola media dan konsumen pers, untuk menentukan corak dan arah isi pers.

Pemberitaan pers tentang peristiwa 15 Januari 1994 (Malari) menyebabkan 11 surat kabar terkemuka ditutup untuk selamanya oleh rezim Soeharto. Surat kabar itu, antara lain : Nusantara, Pedoman, Indonesia Raya, Abadi, Jakarta Times, dan Mahasiswa Indonesia (Bandung). Disini terlihat sekali kekuasaan Soeharto yang otoriter dalam melakukan segala cara agar kekuasaannya aman. Dalam periode ini walaupun sistim politik bergeser ke langgam otoriter tetapi pers mahasiswa tetap berani merefleksikan kenyataan yang hidup dalam masyarakat, melakukan kritik sosial, serta melancarkan kritik tajam pada pembuat kebijaksanaan pemerintah. Sebagai contoh dapat dilihat berita halama I “Salemba” No. 40. September 1997 : “Awan Mendung di Negeri ini Apakah Hujan Darah Akan Menyusul”. Isi pers mahasiswa diakhir tahun 1977 dan diawal tahun 1978 sangat berhubungan erat dengan situasi politik, ketika itu menjelang sidang umum MPR, merupakan suatu momentum buat geraka -  gerakan politik termasuk gerakan – gerakan mahasiswa. Pers mahasiswa ketika itu dengan berani merefleksikan kenyataan yang hidup itu.

Pada tahun 1978, tujuh surat kabar ibu kota juga dibredel. Begitu hebatnya tekanan-tekanan pada pers umum saat itu sehingga para Pemimpin Redaksi dari tujuh media masa tersebut, antara lain : Jakob Oetama (Kompas), R.P. Hendro (The Indonesia Times), H.M. Said Budairy (Pelita), Soebagio Pr. (Sinar Harapan), Tribuana Said (Merdeka), Charly T. Siahaan (Sinar Pagi), dan H.S. Abiyasa (Pos Sore) pada 26 Januari 1978 secara bersama -sama mengirim “surat permintaan maaf “ kepada Presiden Soeharto sesudah media mereka dilarang terbit oleh Kopkamtib. Dalam surat yang berisi permintaan izin untuk menerbitkan kembali itu juga tertera persetujuan dari Ketua Pelaksanaan Pengurus Persatuan Wartawan Indonesia Pusat, Harmoko dan Ketua Umum Serikat Penerbit Surat Kabar Pusat, Djamal Ali. Dilihat dari penyerahan surat permintaan maaf ini kita bisa menyimpulkan bahwa Pers pada waktu itu sudah tidak mempunyai kekuatan melawan pemerintah. Mereka akhirnya menyerah kepada pemerintah dan secara praktis mereka membelenggu kebebasan mereka sendiri dengan menyatakan diri tunduk kepada rezim Soeharto. Sedangkan pada pers mahasiswa mereka mencapai puncaknya pada masa ini, tetapi karena keberaniannya merefleksikan kenyataan yang hidup, dan melontarkan kritik sosial yang tajam akibatnya pers mahasiswa pun dibreidel oleh penguasa. Hal ini terjadi pada Salemba, Kampus, dan Mahasiswa Indonesia pada masa kondisi obyektif politik bersifat otoriter.
Mahasiswa banyak berperan dalam masa transisi antara era orde baru dan era reformasi mereka banyak menyuarakan reformasi pada masa orde baru. Ketidakpuasan mahasiswa terhadap moralitas penguasa politik pada saat Orde Baru, telah menyulut berbagai pergerakan melawan tembok kekuasaan yang sangat kuat. Sikap represif para penguasa Orde Baru menyebabkan banyak mahasiswa yang ditangkap, tindakan seperti ini seakan mengaborsi lahirnya pemikiran-pemikiran kritis mahasiswa ketika itu. Titik kulminasi pergerakan mahasiswa pada saat orde baru terjadi tahun 1998. Kontradiksi politik dan sosial selama Orde Baru telah menyulut gelombang perlawanan mahasiswa secara frontal. Di samping itu, hantaman kuat krisis ekonomi yang dialami bangsa Indonesia pada saat itu, telah membuat semua pihak menaruh mosi tidak percaya atas kebijakan penguasa. Idealisme mahasiswa yang terkubur selama 32 tahun telah mengalami kebangkitan pada bulan Mei 1998, yang ditandai oleh runtuhnya rezim Orde Baru. Berbagai peristiwa tersebut membuktikan betapa mahasiswa talah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari sejarah bangsa. Pemberontakan mahasiswa pada era orde baru dapa dilihat pada berita yang terdapat dikoran – koran yang sebagian besar memuat tentang amukan mahasiswa dan demo – demo dari mahasiswa.
Suatu pencerahan datang kepada kebebasan pers, setelah runtuhnya rezim Soeharto pada tahun 1998. Pada saat itu rakyat menginginkan adanya reformasi pada segala bidang baik ekonomi, sosial, budaya yang pada masa orde baru terbelenggu. Tumbuhnya pers pada masa reformasi merupakan hal yang menguntungkan bagi masyarakat. Kehadiran pers saat ini dianggap sudah mampu mengisi kekosongan ruang publik yang menjadi celah antara penguasa dan rakyat. Dalam kerangka ini, pers telah memainkan peran sentral dengan memasok dan menyebarluaskan informasi yang diperluaskan untuk penentuan sikap, dan memfasilitasi pembentukan opini publik dalam rangka mencapai konsensus bersama atau mengontrol kekuasaan penyelenggara negara. Peran inilah yang selama ini telah dimainkan dengan baik oleh pers Indonesia. Setidaknya, antusias responden terhadap peran pers dalam mendorong pembentukan opini publik yang berkaitan dengan persoalan-persoalan bangsa selama ini mencerminkan keberhasilan tersebut.
Pada tanggal 21 Mei 1998 orde baru tumbang dan mulailah era reformasi. Tuntutan reformasi bergema ke semua sektor kehidupan, termasuk sektor kehidupan pers. Selama rezim orde lama dan ditambah dengan 32 tahun di bawah rezim orde baru, pers Indonesia tidak berdaya karena senantiasa ada di bawah bayang-bayang ancaman pencabutah surat izin terbit. Sejak masa reformasi tahun 1998, pers nasional kembali menikmati kebebasan pers. Hal ini sejalan dengan alam reformasi, keterbukaan, dan demokrasi yang diperjuangkan rakyat Indonesia. Akibatnya, awal reformasi banyak bermunculan penerbitan pers atau koran, majalah, atau tabloid baru. Di Era reformasi pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang pers. Hal ini disambut gembira dikalangan pers, karena tercatat beberapa kemajuan penting dibanding dengan undang-undang sebelumnya, yaitu Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1982 tentang Pokok-Pokok Pers (UUPP).
Pertimbagangan yang yang terdapat pada Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang pers :
a.     bahwa kemerdekaan pers merupakan salah satu wujud kedaulatan rakyat dan menjadi unsur yang sangat penting untuk menciptakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokratis, sehingga kemerdekaan mengeluarkan pikiran dan pendapat sebagaimana tercantum dalam Pasal 28 Undang-undang Dasar 1945 harus dijamin.
b.    bahwa dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang demokratis, kemerdekaan menyatakan pikiran dan pendapat sesuai dengan hati nurani dan hak memperoleh informasi, merupakan hak asasi manusia yang sangat hakiki, yang diperlukan untuk menegakkan keadilan dan kebenaran, memajukan kesejateraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
c.     bahwa pers nasional sebagai wahana komunikasi massa, penyebar informasi, dan pembentuk opini harus dapat melaksanakan asas, fungsi, hak, kewajiban, dan peranannya dengan sebaik-baiknya berdasarkan kemerdekaan pers yang profesional, sehingga harus mendapat jaminan dan perlindungan hukum, serta bebas dari campur tangan dan paksaan dari manapun.
d.    bahwa pers nasional berperan ikut menjaga ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
e.     bahwa Undang-undang Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan- ketentuan Pokok Pers sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1967 dan diubah dengan Undang-undang Nomor 21 Tahun 1982 sudah tidak sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman.
f.      bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, c, d, dan e, perlu dibentuk Undang-undang tentang Pers.
Sedangkan pertimbangan untuk Undang Nomor 21 Tahun 1982  tentang Pokok-Pokok Pers (UUPP) :
“Bahwa untuk melaksanakan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IV/MPR/1978 tentang Garisgaris Besar Haluan Negara khususnya bidang Penerangan dan Pers dipandang perlu mengadakan perubahan atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1967.”
Disini bisa kita lihat sendiri bahwa Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 merupakan perjuangan pers nasional untuk memperjuangkan kemerdekaan mereka sebagai sarana mereka memberikan informasi yang sesuai dengan kenyataan kepada masyarakat dan bukan merupakan alat siapa pun juga, berbeda dengan Undang-undang Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1982 yang hanya merubah kata – kata yang terdapat pada Undang-undang Nomor 4 Tahun 1967. Pada -Undang Nomor 40 Tahun 1999 para pejuang pers sepenuhnya memberikan menuangkan aspirasi mereka pada undang – undang itu mereka memberikannya
Setelah reformasi bergulir tahun 1998, pers Indonesia mengalami perubahan yang luar biasa dalam mengekspresikan kebebasan. Fenomena itu ditandai dengan munculnya media-media baru cetak dan elektronik dengan berbagai kemasan dan segmen. Keberanian pers dalam mengkritik penguasa juga menjadi ciri baru pers Indonesia. Pers yang bebas merupakan salah satu komponen yang paling esensial dari masyarakat yang demokratis, sebagai prasyarat bagi perkembangan sosial dan ekonomi yang baik. Keseimbangan antara kebebasan pers dengan tanggung jawab sosial menjadi sesuatu hal yang penting. Hal yang pertama dan utama, perlu dijaga jangan sampai muncul ada tirani media terhadap publik. Sampai pada konteks ini, publik harus tetap mendapatkan informasi yang benar, dan bukan benar sekadar menurut media. Pers diharapkan memberikan berita harus dengan se-objektif mungkin, hal ini berguna agar tidak terjadi ketimpangan antara rakyat dengan pemimpinnya mengenai informasi tentang jalannya pemerintahan.
Pada masa Reformasi pemerintah juga memberi kemudahan untuk memperoleh SIUPP. Akibat kemudahan memperoleh SIUPP tersebut, jumlah pemohon SIUPP membengkak lebih dari sepuluh kali lipat dibandingkan dengan masa Orde Baru.  Kebijakan lain Pemerintah Kabinet Reformasi dalam membuka peluang kebebasan pers adalah dengan mencabut SK Menpen Nomor 47 tahun 1975 tentang pengakuan pemerintah terhadap PWI sebagai satu-satunya organisasi wartawan di Indonesia. Pencabutan SK ini, mengakhiri era wadah tunggal organisasi kewartawanan, sehingga tidak sampai dalam satu tahun telah tumbuh 34 organisasi wartawan cetak dan elektronik. Walaupun kehadirannya dapat dipandang sebagai cerminan euphoria kebebasan, akan tetapi di pihak lain dapat menjadi ajang kompetisi wartawan Indonesia meningkatkan profesionalitas mereka.
Pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid, departemen penerangan yang dianggap mengekang pers dibubarkan. Pemerintah tidak mempunyai ruang untuk mengekang pers. Pers yang tadinya diawasi dengan ketat oleh pemerintah pada masa Reformasi ditiadakan. Yang ada hanya Dewan Pers yang bertugas untuk mengawasi dan menetapkan pelaksanaan kode etik, juga sebagai mediator antara masyarakat, Pers dan pemerintah apabila ada yang dirugikan. Pers yang bebas merupakan salah satu komponen yang paling esensial dari masyarakat yang demokratis, sebagai prasyarat bagi perkembangan sosial dan ekonomi yang baik. Keseimbangan antara kebebasan pers dengan tanggung jawab sosial menjadi sesuatu hal yang penting. Hal yang pertama dan utama, perlu dijaga jangan sampai muncul ada tirani media terhadap publik. Sampai pada konteks ini, publik harus tetap mendapatkan informasi yang benar, dan bukan benar sekadar menurut media. Pers diharapkan memberikan berita harus dengan se-objektif mungkin, hal ini berguna agar tidak terjadi ketimpangan antara rakyat dengan pemimpinnya mengenai informasi tentang jalannya pemerintahan.
Kendatipun secara politik pers sudah memperoleh kebebasannya, dalam arti hilangnya kontrol pemerintah, akan tetapi hambatan non politik berupa tekanan publik/oknum pemerintah masih dialami oleh pers Indonesia. Sampai dengan April 1999, terdapat sedikitnya 47 kasus intimidasi terhadap jurnalis berupa intimidasi dan kekerasan fisik. Pelaksanaan kebebasan pers pada Era Reformasi dalam kenyataannya masih banyak menghadapi kendala. Euforia kebebasan berpendapat dan kebebasan berorganisasi, ditanggapi dengan banyaknya diterbitkan suratkabar atau media, serta didirikannya partai-partai politik. Fenomena euphoria kebebasan politik berdampak pada kualitas pelaksanaan kebebasan pers. Dalam realitasnya keberhasilan gerakan Reformasi membawa pengaruh pada kekuasaan pemerintah jauh berkurang, untuk tidak mengatakan tiada sama sekali terhadap pers. Pergulatan pers dengan sebuah rezim seolah telah usai. Pada masa reformasi pers sepenuhnya bergulat dengan pasar yang semakin membuat jaya kelompok-kelompok media yang sudah mapan secara ekonomis di masa Orde Baru. Untuk sementara pers Indonesia boleh bernafas lega dari tekanan politis sambil mencari keuntungan uang sebanyak mungkin. Fenomena ini kemudian melahirkan gejala kelompok-kelompok usaha media, seperti Gramedia Grup, Sinar Kasih Grup, Pos Kota Grup, Presindo Grup, dan Grafiti / Jawa Pos Grup.
Sungguh ironi, dalam sistem politik yang relatif terbuka saat ini, pers Indonesia cenderung memperlihatkan performa dan sikap yang dilematis. Di satu sisi, kebebasan yang diperoleh seiring tumbangnya rezim Orde Baru membuat media massa Indonesia leluasa mengembangkan isi pemberitaan. Namun, di sisi lain, kebebasan tersebut juga sering kali tereksploitasi oleh sebagian industri media untuk mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya dengan mengabaikan fungsinya sebagai instrumen pendidik masyarakat. Bukan hanya sekedar celah antara rakyat dengan pemimpin, tetapi pers diharapkan dapat memberikan pendidikan untuk masyarakat agar dapat membentuk karakter bangsa yang bermoral. Kebebasan pers dikeluhkan, digugat dan dikecam banyak pihak karena berubah menjadi ”kebablasan pers”. Hal itu jelas sekali terlihat pada media-media yang menyajikan berita politik dan hiburan (seks). Media-media tersebut cenderung mengumbar berita provokatif, sensasional, ataupun terjebak mengumbar kecabulan.  Ada hal lain yang harus diperhatikan oleh pers, yaitu dalam membuat informasi jangan melecehkan masalah agama, ras, suku, dan kebudayaan lain, biarlah hal ini berkembang sesuai dengan apa yang mereka yakini.
Sayangnya, berkembangnya kebebasan pers juga membawa pengaruh pada masuknya liberalisasi ekonomi dan budaya ke dunia media massa, yang sering kali mengabaikan unsur pendidikan. Arus liberalisasi yang menerpa pers, menyebabkan Liberalisasi ekonomi juga makin mengesankan bahwa semua acara atau pemuatan rubrik di media massa sangat kental dengan upaya komersialisasi. Sosok idealisme nyaris tidak tercermin dalam tampilan media massa saat ini. Sebagai dampak dari komersialisasi yang berlebihan dalam media massa saat ini, eksploitasi terhadap semua hal yang mampu membangkitkan minat orang untuk menonton atau membaca pun menjadi sajian sehari-hari.

Sumber: 
  • Siregar, Amir Effendi. 1983. Pers Mahasiswa Indonesia Patah Tumbuh Hilang Berganti. Jakarta: PT Karya Unipress.
  • Hidayat, Dedy N., Effendi Gazali, Harsono Suwardi, dan Ishadi S. K. 2000. Pers dalam Revolusi Mei Runtuhnya Sebuah Hegemoni. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
  • Salemba. 23 Januari 1978. “Awan Mendung di Negeri ini Apakah Hujan Darah Akan Menyusul”.
  • Serambi Indonesia. 22 Mei 1998. “Habibie Harus Akhiri Monopoli Anak Soeharto”.
  • Serambi Indonesia. 22 Mei 1998. “Soeharto Mundur Pasar Bingung”.
  • Serambi Indonesia. 7 mei 1998. “Halaman 1”.
  • Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Kebebasan Pers.
  • Undang Nomor 21 Tahun 1982 tentang Pokok-Pokok Pers (UUPP).
Contoh Koran yang terbit pada masa orde baru:

                                       



Tidak ada komentar:

Posting Komentar