TALITA KUM DI SURAKARTA
: PEJUANG DAN PEREKAT DI KOTA SUMBU PENDEK
Oleh : Ajhi Wicaksono
Perbincangan
mengenai kaum Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender atau disebut LGBT
merupakan suatu permasalahan yang tabu dan tak patut untuk diperbincangkan di
kalangan masyarakat Indonesia. Kurangnnya pengenalan dan pengetahuan tentang
pendidikan seksualitas dapat berdampak pada adanya pemahaman-pemahaman yang
salah dari masyarakat Indonesia khususnya. Kaum LGBT adalah kaum terpinggirkan
dan dipinggirkan. Tetapi bagaimanapun itu adalah hak atau pilihan mereka, jadi
unsur argumentasi lifestyle. Jika mereka memilih lifestyle
tersebut, apakah ada tekanan pihak lain? Di seluruh media baik televisi atau di
iklan, mereka mengumbar gaya hidup glamor, bahkan menjadi fashion designer dan lain-lain. Mindset tersebut salah mendeskripsikan
mereka sebagai kaum yang tidak tertindas, mereka bukan kelompok miskin, jadi
mereka sebetulnya tidak perlu dilindungi oleh kebijakan-kebijakan negara.
Namun, tidak sepenuhnya gambaran tersebut benar.
Di Surakarta ada
usaha untuk melindungi hak-hak kaum LGBT, misalnya Talita Kum. Talita Kum adalah
sebuah organisasi studi seksualitas perempuan, termasuk di dalamnya Lesbian, Biseksual, Transgender dan FTM (Female
to Male). Talita Kum ialah sebagai advocacy group kaum lesbian di
Surakarta. Talita Kum termasuk dalam penguatan HAM (advocacy) kaum
lesbian di Surakarta. Wadah ini didirikan pertama kali pada tanggal 8 Maret 2009 dan didaftarkan secara resmi pada
tanggal 30 Juli 2010 melalui Akta Notaris No. 97 di kantor notaris Sunarto, SH Jalan
Prof. Dr. Supomo 20 A Surakarta dalam bentuk
perkumpulan. Peran Talita Kum untuk
dapat mengubah sterotype
masyarakat Indonesia dan masyarakat Surakarta khususnya.
Fenomena Talita
Kum ini tak terlepas dari posisi sejarah perempuan di Indonesia. penulisan sejarah perempuan di Indonesia yang
relatif masih terbatas. Sejarawan masih beranggapan bahwa tema yang terkait
fenomena perempuan cenderung kurang menarik. Sebagai spesialisasi dalam kajian
sejarah, sejarah wanita dapat dimasukkan dalam sejarah sosial. Menyitir
penelitian Kuntowijoyo, tulisan tentang wanita dapat mencerminkan dengan jelas
sistem sosial tempat dan waktu wanita itu. Berawal ketika pegawai VOC tiba di
Nusantara sekitar tahun 1600-an, dimulailah kemunculan para nyai. Peran
perempuan yang dulunya hanya berurusan dengan dapur, ranjang serta mengurus
anak berubah menjadi lebih kompleks. Sejak dulu telah ada berbagai usaha
pergerakan untuk mewujudkan emansipasi wanita, seperti halnya yang diperjuangkan
Kartini. Emansipasi dalam konteks memajukan dan memberdayakan perempuan melalui
pendidikan menjadi jalan bagi pengentasan keterbelakangan dan rasa kebodohan
perempuan.
Beralih pada zaman industrialisasi sekarang ini, terjadi perubahan
tataran berpikir warga desa yang makin urbanized
(terkotakan) maupun status kelas mereka, telah merelatifkan jarak budaya antara
desa dan kota. Perpindahan penduduk dari desa untuk bekerja sebagai buruh di
kota memang lebih banyak didasarkan pada kepentingan mendesak untuk tetap
bertahan hidup, keluar dari alam dan lembah kerentanan ekonomi pedesaan.
Artinya, sebagian besar warga desa, khususnya kaum perempuan mengalami
perubahan status cukup drastis dari semula sebagai penggarap tanah, buruh tani,
atau pemilik warung kecil-kecilan menjadi kelas pekerja yang bekerja di
beberapa kawasan industri di wilayah perkotaan. Hal-hal tersebut membawa
sejumlah implikasi yang tidak hanya menyinggung kepentingan ekonomi semata
tetapi juga merambah pada gaya hidup.
Gaya hidup perempuan Indonesia tidak luput dari masalah budaya
konsumerisme. Perempuan memiliki kecenderungan lebih konsumtif terhadap
berbagai hal. Sejalan dengan itu, berbagai usaha yang berkaitan dengan
kebutuhan perempuan semakin berkembang. Hal ini didorong dengan kemajuan media
periklanan yang sudah maju sejak tahun 1870. Media periklanan menawarkan
beberapa produk spesial yang berfungsi untuk menunjang gaya hidup perempuan
perkotaan seperti fashion dan asesories, parfum dan toiletries, perabot rumah tangga, dan
beberapa kebutuhan lainnya.
Perempuan yang ditampilkan dalam
iklan sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya patriarki yang hanya
menjadikan perempuan sebagai pendamping pria dari mulai remaja sampai usia lanjut.
Dalam iklan, perempuan diidentifikasikan dengan kegiatan memasak, perawatan
tubuh, bentuk tubuh proporsional, kulit putih, cantik, rambut lurus dan
panjang. Media, terutama iklan sangat berpengaruh kuat dalam menentukan deskripsi
dan persepsi mengenai wanita yang seolah-olah didambakan dalam masyarakat. Iklan-iklan
yang secara tidak langsung mendiskreditkan wanita yang dianggap tidak memenuhi
kriteria tubuh ideal wanita dewasa, sehingga kemudian berpengaruh terhadap
anggapan yang semakin berkembang, dimana wanita dengan tubuh tidak langsing,
atau tidak berkulit putih dan tidak berambut lurus bukan tipe perempuan ideal
yang diidamkan laki-laki dan tidak mendapatkan tempat dalam media.
Pada akhirnya, remaja putri pun
sering menjadi sasaran, baik sebagai model maupun target pasar dari iklan
produk-produk yang ditawarkan. Sekarang ini banyak model-model iklan yang
menampilkan model remaja, supaya menarik remaja lainnya untuk meniru penampilan
model iklan yang berusia sama. Produk yang ditawarkan pun sengaja dilabelkan
seolah-olah khusus untuk remaja yang aktif, cantik, dan trendy. Sebagai target pasar, remaja sangat potensial sebagai
konsumen, karena dalam usia remaja, perasaan selalu ingin tampil menarik lawan
jenis sangat mendominasi kepribadiannya. Sehingga para remaja putri,
berlomba-lomba membeli produk yang ditawarkan untuk tampil cantik dan menarik
ala model, demi menunjukkan eksistensinya di depan remaja pria
Melalui media iklan, perempuan terpengaruh dengan apa yang disajikannya
dalam segala aspek kehidupan. Adapun aspek kehidupan yang dipengaruhi oleh media
iklan pun beragam, mulai dari sisi ekonomi, pendidikan, pergaulan, gaya hidup,
persepsi serta pola pikir, sampai pada dalam urusan penampilan dan citra diri. Berbagai
macam cara dilakukan orang-orang untuk bisa menunjukkan jati dirinya
masing-masing, salah satunya adalah cara berpakaian, Perubahan cara berpakaian
atau fashion kaum perempuan dikaitkan
dengan faktor-faktor sosio kultural masyarakat. Maksudnya adalah perubahan gaya
berpakaian perempuan dalam berbagai kesempatan ditunjang ataupun dibatasi oleh
kondisi kekinian masyarakat.
Perempuan Indonesia tempo dulu digambarkan sebagai perempuan dengan
kebudayaan Jawa dengan image khusus
seperti kain batik, bersanggul atau konde, dan mengenakan kebaya. Busana
tradisional perempuan Jawa mendapat pengaruh yang cukup besar dari kehidupan
kraton. Namun dengan gencarnya invasi teknologi Barat era sekarang, berbagai
budaya asing termasuk budaya dalam busana wanita telah menjamur di Indonesia.
Dengan alasan trend masa kini,
perempuan lebih memilih mengenakan model pakaian serba minim seperti baju mini,
rok mini atau celana pendek.
Tayangan televisi Indonesia adalah media yang memberikan suguhan supaya
dapat mempengaruhi publik. Sayangnya, tayangan seperti sinetron Indonesia
sering kali mempertontonkan hal seronok. Sebagai contoh, ada tayangan yang
menggambarkan para pelajar sekolah menggunakan seragam rok mini, baju ketat dan
kegiatannya hanya pacaran. Jelas ini mempengaruhi remaja putri di kehidupan
nyata karena mindset mereka bahwa hal
tersebut termasuk modis dan trend
masa kini. Inilah merupakan pengaruh budaya luar yang jauh dari etika
ketimuran.
Perubahan-perubahan
sosial yang serba cepat dan perkembangan yang tidak sama dalam kebudayaan,
mengakibatkan ketidakmampuan banyak individu untuk menyesuaikan diri. Hal ini
mengakibatkan timbulnya disharmoni, konflik-konflik eksternal maupun internal
dan juga disorganisasi dalam masyarakat serta diri pribadi. Peristiwa-peristiwa
tersebut memudahkan individu menggunakan pola-pola respon atau reaksi yang
menyimpang dari pola-pola umum yang berlaku. Berbagai kompleksitas permasalahan kalangan
perempuan di Indonesia, seperti pecandu narkoba, perdagangan manusia hingga
topik panas mengenai prostitusi online
di kalangan wanita dan lesbian.
Lesbian
merupakan suatu bentuk dari penyimpangan perkembangan psikoseksual, dimana perempuan tersebut hanya menyukai
sesama jenisnya, bukan terhadap lawan
jenisnya. Fenomena lesbian di dunia internasional berkembang dan
menyebar secara cepat. Di era globalisasi saat ini, banyak negara-negara di
dunia internasional yang secara de jure menerima adanya kaum lesbian dan
adanya praktek-praktek pernikahan sesama jenis. Pergerakan lesbian di Indonesia
sejatinya telah terjadi puluhan tahun yang lalu dan bergerak dengan cepat. Akan tetapi
pergerakaan ini dipersempit dengan kuatnya nilai budaya, moral dan agama di
Indonesia.
Banyak perempuan
lesbian beranggapan bahwa mereka menjadi seorang lesbian sejak lahir, sedangkan ada yang menganggap
bahwa menjadi lesbian adalah pilihan
hidupnya. Lesbianisme didefinisikan tidak hanya faktor alamiah, namun
lebih kepada masalah preferensi seksual berdasarkan pengalaman. Hal tersebut dapat terjadi setiap saat,
ketika beranjak remaja, dewasa, saat menjadi orang tua atau di masa tua.
Perempuan lesbian tidak mengenal kelas
sosial. Mereka bisa dari kalangan atas,
menengah, bawah, dialami oleh model, aktris, orang yang sudah bekerja atau
remaja yang masih sekolah.
Individu yang
memiliki orientasi seksual sebagai seorang lesbian ingin diakui keberadaannya
di masyarakat. Namun, pengakuan tersebut membutuhkan kesiapan dalam diri dan
proses yang panjang. Hal ini dikarenakan masyarakat hidup dalam era
heteronormatifitas dan gender biner, dimana hubungan yang disetujui oleh
masyarakat adalah hubungan heteroseksual, yaitu ketertarikan dengan lawan
jenis. Gender biner merupakan konsep yang
mengatur hak dan kewajiban seseorang
berdasarkan seks biologisnya. Konstruksi gender untuk laki-laki
diidentikkan dengan sifat maskulinitas dan konstruksi gender untuk perempuan
diidentikkan dengan sifat
femininitas. Era heteronormatifitas dan gender biner tersebut
mengakibatkan individu yang memiliki orientasi seksual sebagai seorang lesbian
merasa tertutup dan enggan untuk membuka diri.
Kota Solo atau
Surakarta dikenal sebagai kota sumbu pendek, rawan munculnya konflik. Citra
negatif itu dilekatkan oleh publik lantaran di Solo ditemukan sederet
fakta historis peristiwa konflik. Meski
masyarakatnya dipandang ramah dan lembut, jika tersulut sedikit saja, kerusuhan gampang meletus. Kasus
LGBT di Surakarta rawan memicu konflik di kota ini. Oleh karena itu, tugas
Talita Kum adalah sebagai wadah penengah bagi kaum LGBT. Talita Kum berkecimpung
dalam pemenuhan hak-hak LGBT sebagai fokus utama, khususnya kaum lesbian.
Kegiatan yang dilakukan pada organisasi Talita Kum Surakarta, seperti seminar
yang membahas isu gender, seksualitas dan LGBT. Selain itu, organisasi ini juga
mengadakan kegiatan olahraga dan kegiatan lain untuk mengakrabkan para anggota.
Intinya, hal ini membuktikan terhadap masyarakat luas, utamanya masyarakat Indonesia bahwa perbedaan
dan keberagaman adalah anugerah.
Keberadaannya harus disikapi dengan arif, demi mengokohkan persatuan dan
kesatuan bangsa.