Senin, 19 September 2016

TAN MALAKA


Nagari Pandan Gadang berada di antara lintasan Koto Tinggi dan Manggani, merasuk ke pedalaman Bukit Barisan, 35 Km di Barat Payakumbuh, 75 Km dari Bukittinggi atau 165 Km dari Padang, Sumatera Barat. Di desa yang berlembah, permai, dan nyaman itulah Ibrahim (Tan Malaka) dilahirkan (1897) dari keluarga terpandang (pegawai pertanian Hindia Belanda).
Nama asli Tan Malaka adalah Ibrahim, sedangkan Tan Malaka adalah nama semi bangsawan yang ia dapatkan dari garis ibu. Nama lengkapnya adalah Ibrahim Gelar Datuk Sutan Malaka. Ayahnya bernama H.M. Rasad, seorang karyawan pertanian, dan Rangkayo Sinah, putri orang yang disegani di desa. Tan Malaka mempelajari ilmu agama dan berlatih pencak silat. Pada tahun 1908, ia didaftarkan ke Kweekschool (sekolah guru negara) di Fort de Kock. Menurut gurunya G.H. Horensma, Tan Malaka kadang-kadang tidak patuh, namun ia adalah murid yang pintar. Di sekolah ini, ia menikmati pelajaran bahasa Belanda, sehingga Horensma menyarankan agar ia menjadi seorang guru di sekolah Belanda.  Ia juga adalah seorang pemain sepak bola yang hebat. Ia lulus dari sekolah itu pada tahun 1913. Setelah lulus, ia ditawari gelar datuk dan seorang gadis untuk menjadi tunangannya. Namun, ia hanya menerima gelar Datuk.  Ia menerima gelar tersebut dalam sebuah upacara tradisional pada tahun 1913.
Meskipun diangkat menjadi Datuk, pada bulan Oktober 1913 ia meninggalkan desanya untuk belajar di Rijkskweekschool (sekolah pendidikan guru pemerintah), yang didanai oleh para engku dari desanya. Sesampainya di Belanda, Malaka mengalami kejutan budaya, dan pada 1915, ia menderita pleuritis. Selama kuliah, pengetahuannya tentang revolusi mulai meningkat setelah membaca de Fransche Revolutie, yang diberikan kepadanya sebelum keberangkatannya ke Belanda oleh Horensma. Setelah Revolusi Rusia pada Oktober 1917, ia semakin tertarik pada komunisme dan sosialisme, membaca buku-buku karya Karl Marx, Friedrich Engels, dan Vladimir Lenin. Friedrich Nietzsche juga menjadi salah satu panutannya. Saat itulah ia mulai membenci budaya Belanda dan terkesan oleh masyarakat Jerman dan Amerika. Dia kemudian mendaftar ke militer Jerman, Bagaimanapun, ia ditolak karena Angkatan Darat Jerman tidak menerima orang asing. Saat itulah ia bertemu Henk Sneevliet, salah satu pendiri Indische Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV, pendahulu dari Partai Komunis Indonesia). Ia juga tertarik bergabung dengan Sociaal Democratische Onderwijzers Vereeniging (Asosiasi Demokrat Sosial Guru). Pada bulan November 1919, ia lulus dan menerima ijazahnya yang disebut hulpactie.
Setelah lulus, ia kembali ke desanya. Ia kemudian menerima tawaran Dr. C.W. Janssen untuk mengajar anak-anak kuli di perkebunan teh di Sanembah, Tanjung Morawa, Deli, Sumatera Utara. Ia riba di sana pada Desember 1919, dan mulai mengajar anak-anak itu bahasa Melayu pada Januari 1920. Selain mengajar, Tan Malaka juga menulis beberapa propaganda subversif untuk para kuli, dikenal sebagai Deli Spoor. Selama masa ini, dia belajar dari kemerosotan dan keterbelakangan hidup kaum pribumi di Sumatera. Ia juga berhubungan dengan ISDV dan terkadang juga menulis untuk media massa. Salah satu karya awalnya adalah "Tanah Orang Miskin", yang menceritakan tentang perbedaan mencolok dalam hal kekayaan antara kaum kapitalis dan pekerja, yang dimuat di Het Vrije Woord edisi Maret 1920. Ia juga menulis mengenai penderitaan para kuli kebun teh di Sumatera Post. Tan Malaka menjadi calon anggota Volksraad dalam pemilihan tahun 1920, mewakili kaum kiri. Ia memutuskan untuk mengundurkan diri pada 23 Februari 1921.

A.    Pemikirian Politik
Tan Malaka adalah seorang pejuang yang militan, radikal dan revolusioner ini telah banyak melahirkan pemikiran-pemikiran yang orisinil, berbobot dan brilian hingga berperan besar dalam sejarah perjaungan kemerdekaan Indonesia. Dengan perjuangan yang gigih maka ia mendapat julukan tokoh revolusioner yang legendaris. Hal tersebut bertolak dari Tan Malaka: Pergulatan Menuju Republik 1925-1945,  ditulis oleh Harry A. Poeze ini memuat  riwayat hidup, perjuangan poltik dan perkembngan pemikiran dapat disimpulkan bahwa ada tiga makna yang terkandung dalam diri Tan Malaka. Pertama, Tan Malaka sebagai anak manusia yang mengalami suatu proses kehidupan yang penuh konflik dan dramatis. Kedua, sebagai tokoh aktifis politik yang berkembang menjadi seorang pejuang yang militan, radikal dan revolusioner. Ketiga, intelektual pemikir  yang melahirkan pemikiran-pemikiran yang orisinil, berbobot, dan brilian.
Demikian juga dapat kita ketahui dari pendapat Rudolf Mrazek – dia mempelajari Tan Malaka melalui pendekatan “struktur pengalaman seorang personalitas politik”. Dengan “struktur pengalaman”  kira-kira dimaksudkannya totalitas pola-pola kebudayaan yang terkumpul dalam diri seseorang, melalui mana ia menghayati atau memahami apa-apa yang terjadi di sekitarnya. Struktur pengalaman memberikan visi tertentu bagi seseorang tentang bagaimana melihat dan mengartikan apa-apa  yang berlaku. Seorang personalitas politik yang mengkonsepsikan dirinya dan masyarakat melalui konsepsi  yang sama dan sesuai dengan visi struktur pengalamannya, atau apa yang telah membudaya dalam dirinya.
Menurut Mrazek, struktur pengalaman  Tan Malaka adalah tipe masyarakat Minangkabau pada akhir abad yang lalu atau pemulaan abad 20 yang mempunyai “dinamisme” dan “anti parokhialisme” sebagai ciri khasnya. Melalui struktur pengalaman ini masyarakat Minangkabau mempunyai perspektif, yang sampai sekarang masih  kuat dipegang, bahwa adat dan falsafah Minangkabau memandang konflik sebagai esensi untuk mencapai dan mempertahankan perpaduan atau integrasi masyarakat. Alam Minangkabau dilihat melalui kacamata “dialektika”  yang selalu mampu menemukan keserasian dalam suasana kontradiksi. 
Disini Tan Malaka adalah termasuk salah seorang inteletual Minangkabau yang menerima visi atau idealisasi  adat dan falsafah hidup masyarakat Minangkabau tersebut. Juga proses  penyerapan unsur-unsur luar atau baru  terutama dimungkinkan oleh “konsep rantau”. Yang dapat dikatakan bahwa pergi merantau akan memberikan pengalaman dan pengetahuan baru yang didapatkannya dari luar. Dan kemana pun jauh perginya dia merantau pun akan tetap kembali ke asal. Dengan buah tangan pengalaman dan pengetahuan tersebut diharapkan dapat memainkan peranan sosial di tengah masyarakat sehingga mereka bisa ikut apa yang baik dari rantau dan membuang  apa yang buruk.
Biografi tentang "Trostky" Indonesia itu memang memiliki keunikan tersendiri, jika dibandingkan dengan Soekarno-Hatta yang terdidik, konservatif dan datar saja. Berbeda sekali dengan Tan Malaka, bahwa sifat mengembara (perantau dari Minangkabau) banyak mewarnai kehidupan politiknya. Sejak 1922 dia sudah pergi ke Belanda dan hampir menjadi anggota Parlemen, ke Jerman, pindah ke Moskow mewakili Indonesia dalam Komintern ke IV dan diangkat menjadi Kepala Biro Serikat Sekerja Timur Merah di Canton, 1924 ke Cina, 1925 ke Tokyo sambil menulis buku Menuju Republik Indonesia, ke Philipina 1925, 1927 di Bangkok mendirikan PARI, 1937 di Singapura mengajarkan bahasa Inggris. Tan Malaka  adalah satu-satunya tokoh pergerakan nasional yang  banyak bertandang ke berbagai negara.
Tan malaka adalah tipe lain dari Soekarno, Hatta, dan Sjahrir. Ia adalah seorang guru yang belajar di negeri Belanda, tetapi hidup dalam lingkungan  keluarga-keluarga buruh yang  miskin di sana. Setelah ia kembali ke Indonesia ia menjadi guru di Deli dan disana ia melihat banyak ketidakadilan. Pengalaman-pengalamnnya yang pahit  mendapatkan penyalurannya di Semarang ketika ia bertemu dengan Semaun dan kawan-kawanya pada tahun 1920-an. Waktu itu ia sakit TBC dan memerlukan perawatan. Semaun yang menjamin makanan sehat (susu) baginya dan ia aktif di PKI. Perlu dijelaskan, bahwa saat Tan Malaka bergabung dengan PKI di Semarang itu telah mampu mengorganisasikan partai tersebut secara stabil. Walaupun kemudian terdapat fraksi di tubuh partai itu, yaitu antara Tan Malaka dan tokoh-tokoh PKI seperti Semaun dan Alimin dalam mengadakan revolusi sosial. Yaitu ketika akan terjadi pemberontakan Komunis 1926, Tan Malaka tidak menyetujuinya karena situasi revolusioner di rakyat belum tercapai benar, lagi pula anggota PKI basisnya relatif sedikit dan terfokus pada kaum buruh.
Dapat dilihat bahwa pandangan nasionalisme Tan Malaka sangat kental ketimbang pandangan Komunisme. Dalam memandang Komunisme Tan Malaka tidak dogmatis atas hasil pikir dari Marx, tetapi metode berpikir Marx yang dikaitkan dengan konteks historisnya lebih dia tekankan. Kemudian dari situlah tokoh-tokoh Komunis itu menyebut Tan Malaka sebagai pengkhianat dan Trostky. Namun, Tan Malaka tidak memusingkan tuduhan tersebut karena revolusi bagi Tan Malaka mencakup segala bidang baik fisik, mental (menentang feodalisme), dan pemikiran (hal itu terlihat dalam bukunya Madilog). Revolusi bukanlah sesuatu yang dikarang dalam otak saja dan bukan lahir atas seseorang yang mahir sekalipun.

B.     Organisasi Politik
Berkembangnya pergerakan kebangsaan tahun 1920-an mendorongnya berangkat ke Jawa Tahun 1921, meninggalkanpekerjaannya yang bergaji lumayan tinggi.Perkenalannya dengan R. Soetopo seorang guru Sekolah Pertanian di Purworejo mengenalkannya dengan Sarekat Islam (SI) sertamembawanya ke kongres SI di Yogyakarta tahun 1921.
Melalui SI, ia bertemu dengan tokoh-tokoh pergerakan terkemuka, seperti Haji Oemar Said Tjokroaminoto, Haji Agoes Salim, Abdoel Moeis, Semaoen, Darsono, dll. Saat perkenalan itu Semaoen sebagai Ketua SI cabang Semarang, terkesan dengan Tan Malaka sebagai tokoh muda terpelajar yang mampu memahami islam dan marxisme dengan baik. Kehadirannya diharapkan dapat menjembati perbedaan pemahaman antara komunis dan Islam sehingga energi terbesar dalam perjuangan kemerdekaan dapat dimaksimalkan.
Seusai kongres, Semaoen mengajak Tan Malaka ke Semarang. Kedua aktivis Merah itu sepakat untuk mendirikan sekolah kerakyatan yang bertujuan untuk mendidik calon-calon pemimpin bangsa yang progresif-revolusioner dari kaum rakyat proletar. Berdirilah sekolah pertama dengan murid sebanyak 50 pada tanggal 21 Juni 1921 kemudian pada Maret 1922 sekolah sejenis telah tersebar sampai ke Bandung dengan 200 murid. Pendirian sekolah-sekolah ini sangat berhasil sehingga melambungkan nama Tan Malaka.
Tan Malaka   adalah Bapak Republik Indonesia, seorang aktifis pejuang kemerdekan Indonesia, seorang pemimpin sosialis, dan politisi yang mendirikan Partai Murba. Pejuang yang militan, radikal, dan revolusioner ini banyak melahirkan pemikiran-pemikiran yang berbobot dan berperan besar dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia. Dengan perjuangan yang gigih maka ia dikenal sebagai tokoh revolusioner yang legendaris. Walaupun berpandangan sosialis, ia juga sering terlibat konflik dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Tan Malaka pada tahun 1927 telah mendirikan PARI (Partai Republik Indonesia) yang dengan sendirinya telah keluar dari PKI (Partai Komunis Indonesia) dan seterusnya tulisan-tulisan Tan malaka sesudah tahun 1927 berkembang ke arah Nasional Revolusioner. Tahun 1921 itu juga Tan Malaka juga aktif dalam perjuangan buruh. Dia pernah menjadi wakil ketua Serikat Buruh. Pelikan (tambang) Cepu, yang didirikan Semaun. Dalam tahun ini pula Kongres PKI memilihnya menjadi ketua mewakili Semaun yang sedang berada di luar negeri. Karena kegiatannya yang terus meningkat, hingga melibatkan diri dalam pemogokan buruh, maka tanggal 2 Maret 1922, Tan Malaka akhirnya ditangkap dan dibuang ke Kupang (Timor), tapi kemudian dalam bulan ini juga keputusan dirubah menjadi externering atau pengasingan ke Negeri Belanda.
Tan Malaka menghabiskan sebagian besar hidupnya dalam pembuangan di luar Indonesia, dan secara tak henti-hentinya terancam dengan penahanan oleh penguasa Belanda dan sekutu-sekutu mereka. Walaupun secara jelas disingkirkan, Tan Malaka dapat memainkan peran intelektual penting dalam membangun jaringan gerakan sosialis internasional untuk gerakan anti penjajahan di Asia Tenggara. Tan Malaka juga seorang pendiri partai PARI dan Murba, berasal dari Sarekat Islam (SI) Jakarta dan Semarang. Ia dibesarkan dalam suasana semangatnya gerakan modernis Islam Kaoem Moeda di Sumatera Barat.

C.    Karya-Karya Tan Malaka
Karya puncak pemikiran Tan Malaka dalam Madilog, melukiskan bagaimana Tan Malaka menggeluti berbagai agama. Nilai-nilai Marxisme dia ambil secara selektif dan didasari dialektika dengan pemikiran-pemikiran lainnya, bahkan Tan Malaka pun memperhitungkan faktor-faktor masyarakat di sekitarnya.
Karya besarnya “Madilog” mengajak dan memperkenalkan kepada bangsa Indonesia cara berpikir ilmiah bukan berpikir secara kaji atau hafalan, bukan secara Text book thinking, atau bukan dogmatis dan bukan doktriner. Madilog merupakan istilah baru dalam cara berpikir, dengan menghubungkan ilmu bukti serta mengembangkan dengan jalan dan metode yang sesuai dengan akar dan urat kebudayaan Indonesia sebagai bagian dari kebudayaan dunia. Bukti adalah fakta dan fakta adalah lantainya ilmu bukti. Bagi filsafat, idealisme  yang pokok dan pertama adalah budi, kesatuan, pikiran dan penginderaan. Filsafat materialisme menganggap alam, benda dan realita nyata obyektif sekeliling sebagai yang ada, yang pokok dan yang pertama. 
Bagi Madilog (Materialisme, Dialektika, Logika) yang pokok dan pertama adalah bukti, walau belum dapat diterangkan secara rasional dan logika tapi jika fakta sebagai landasan ilmu bukti itu ada secara konkrit, sekalipun ilmu pengetahuan secara rasional belum dapat menjelaskannya dan belum dapat menjawab apa, mengapa dan bagaimana. 
Semua karya Tan Malaka dan permasalahannya dimulai dengan Indonesia. Konkritnya rakyat Indonesia, situasi dan kondisi nusantara serta kebudayaan, sejarah lalu diakhiri dengan bagaimana mengarahkan pemecahan masalahnya. Cara tradisi nyata bangsa Indonesia dengan latar belakang  sejarahnya bukanlah cara berpikir yang text book thinking dan untuk mencapai Republik Indonesia sudah dicetuskan sejak tahun 1925 lewat Naar de Republiek Indonesia (mencapai Republik Indonesia).
Karya-karya Tan Malaka selain Madilog antara lain :
  1. Parlemen atau Soviet (1920)
  2. SI Semarang dan Onderwijs (1921)
  3. Dasar Pendidikan (1921)
  4. Tunduk Pada Kekuasaan Tapi Tidak Tunduk Pada Kebenaran (1922)
  5. Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia) (1924)
  6. Semangat Muda (1925)
  7. Massa Actie (1926)
  8. Local Actie dan National Actie (1926)
  9. Pari dan Nasionalisten (1927)
  10. Pari dan PKI (1927)
  11. Pari International (1927)
  12. Manifesto Bangkok(1927)
  13. Aslia Bergabung (1943)
  14. Muslihat (1945)
  15. Rencana Ekonomi Berjuang (1945)
  16. Politik (1945)
  17. Manifesto Jakarta (1945)
  18. Thesis (1946)
  19. Pidato Purwokerto (1946)
  20. Pidato Solo (1946)
  21. Islam dalam Tinjauan Madilog (1948)
  22. Gerpolek (1948)
  23. Pidato Kediri (1948)
  24. Pandangan Hidup (1948)
  25. Kuhandel di Kaliurang (1948)
  26. Proklamasi 17-8-45 Isi dan Pelaksanaanya (1948)
  27. Dari Pendjara ke Pendjara (1970)


Sumber :
Alfian. 1977. Tan Malaka: Pejuang Revolusioner yang Kesepian. Jakarta: LP3ES.
A. Poeze, Harry. 1999. Tan Malaka: Pergulatan Menuju Republik (terjemahan cetakan I).
Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Nasir, Zulhasril. 2007. Tan Malaka dan Gerakan Kiri Minangkabau. Yogyakarta: Ombak.
Rambe, Safrizal. 2003. Pemikiran Politik Tan Malaka Kajian terhadapPerjuangan "Sang

Kiri Nasionalis". Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar