TAN
MALAKA
Nagari Pandan
Gadang berada di antara lintasan Koto Tinggi dan Manggani, merasuk ke pedalaman
Bukit Barisan, 35 Km di Barat Payakumbuh, 75 Km dari Bukittinggi atau 165 Km
dari Padang, Sumatera Barat. Di desa
yang berlembah, permai, dan nyaman itulah Ibrahim (Tan Malaka) dilahirkan
(1897) dari keluarga terpandang (pegawai pertanian Hindia Belanda).
Nama asli Tan
Malaka adalah Ibrahim, sedangkan Tan Malaka adalah nama semi bangsawan yang ia
dapatkan dari garis ibu. Nama lengkapnya adalah Ibrahim Gelar Datuk Sutan
Malaka. Ayahnya bernama H.M.
Rasad, seorang karyawan pertanian, dan Rangkayo Sinah, putri orang yang
disegani di desa. Tan
Malaka mempelajari ilmu agama dan berlatih pencak
silat. Pada tahun 1908, ia didaftarkan ke Kweekschool (sekolah guru negara)
di Fort de
Kock. Menurut gurunya G.H. Horensma, Tan Malaka kadang-kadang tidak
patuh, namun ia adalah murid yang
pintar. Di
sekolah ini, ia menikmati pelajaran bahasa
Belanda, sehingga Horensma menyarankan agar ia menjadi seorang guru di
sekolah Belanda. Ia juga adalah seorang pemain sepak bola yang
hebat. Ia lulus dari sekolah itu pada tahun 1913. Setelah lulus, ia
ditawari gelar datuk dan seorang
gadis untuk menjadi tunangannya. Namun, ia hanya menerima gelar Datuk. Ia
menerima gelar tersebut dalam sebuah upacara tradisional pada tahun 1913.
Meskipun diangkat menjadi Datuk, pada
bulan Oktober 1913 ia meninggalkan desanya untuk belajar di Rijkskweekschool (sekolah pendidikan
guru pemerintah), yang didanai oleh para engku dari
desanya. Sesampainya di Belanda, Malaka mengalami kejutan budaya, dan pada 1915, ia menderita pleuritis. Selama kuliah, pengetahuannya tentang revolusi mulai meningkat setelah
membaca de Fransche Revolutie, yang diberikan kepadanya sebelum keberangkatannya ke Belanda oleh
Horensma. Setelah Revolusi Rusia pada Oktober 1917, ia semakin tertarik pada komunisme dan sosialisme,
membaca buku-buku karya Karl Marx, Friedrich
Engels, dan Vladimir
Lenin. Friedrich Nietzsche juga menjadi salah satu panutannya. Saat itulah ia mulai membenci budaya
Belanda dan terkesan oleh masyarakat Jerman dan Amerika. Dia kemudian mendaftar
ke militer Jerman, Bagaimanapun, ia ditolak karena Angkatan Darat Jerman tidak menerima orang asing. Saat itulah ia bertemu Henk Sneevliet, salah satu pendiri Indische Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV, pendahulu dari Partai Komunis Indonesia). Ia juga tertarik bergabung dengan Sociaal Democratische Onderwijzers Vereeniging (Asosiasi Demokrat Sosial
Guru). Pada bulan November 1919, ia
lulus dan menerima ijazahnya yang disebut hulpactie.
Setelah lulus, ia kembali ke desanya. Ia kemudian
menerima tawaran Dr. C.W. Janssen untuk mengajar anak-anak kuli di perkebunan
teh di Sanembah, Tanjung Morawa, Deli, Sumatera Utara. Ia riba di sana pada Desember 1919, dan mulai mengajar
anak-anak itu bahasa
Melayu pada Januari 1920. Selain mengajar, Tan Malaka juga
menulis beberapa propaganda subversif untuk para kuli, dikenal sebagai Deli Spoor. Selama masa ini, dia belajar dari
kemerosotan dan keterbelakangan hidup kaum pribumi di Sumatera. Ia juga berhubungan dengan ISDV dan
terkadang juga menulis untuk media massa. Salah
satu karya awalnya adalah "Tanah Orang Miskin", yang menceritakan
tentang perbedaan mencolok dalam hal kekayaan antara kaum kapitalis dan
pekerja, yang dimuat di Het
Vrije Woord edisi Maret 1920. Ia juga menulis mengenai penderitaan
para kuli
kebun teh di Sumatera Post. Tan Malaka menjadi calon anggota Volksraad dalam pemilihan tahun 1920, mewakili kaum kiri. Ia memutuskan untuk mengundurkan diri
pada 23 Februari 1921.
A. Pemikirian
Politik
Tan
Malaka adalah seorang pejuang yang militan, radikal dan
revolusioner ini telah banyak melahirkan pemikiran-pemikiran yang orisinil,
berbobot dan brilian hingga berperan besar dalam sejarah perjaungan
kemerdekaan Indonesia. Dengan perjuangan yang gigih maka ia mendapat
julukan tokoh revolusioner yang legendaris. Hal tersebut bertolak dari Tan
Malaka: Pergulatan Menuju Republik 1925-1945, ditulis oleh Harry A.
Poeze ini memuat riwayat hidup, perjuangan poltik dan perkembngan
pemikiran dapat disimpulkan bahwa ada tiga makna yang terkandung dalam diri Tan
Malaka. Pertama, Tan Malaka sebagai anak manusia yang mengalami suatu proses
kehidupan yang penuh konflik dan dramatis. Kedua, sebagai tokoh aktifis politik yang berkembang menjadi
seorang pejuang yang militan, radikal dan revolusioner. Ketiga, intelektual pemikir yang
melahirkan pemikiran-pemikiran yang orisinil, berbobot, dan brilian.
Demikian juga
dapat kita ketahui dari pendapat Rudolf Mrazek – dia mempelajari Tan Malaka
melalui pendekatan “struktur pengalaman seorang personalitas politik”. Dengan “struktur
pengalaman” kira-kira dimaksudkannya totalitas pola-pola kebudayaan
yang terkumpul dalam diri seseorang, melalui mana ia menghayati atau memahami
apa-apa yang terjadi di sekitarnya. Struktur pengalaman memberikan visi
tertentu bagi seseorang tentang bagaimana melihat dan mengartikan
apa-apa yang berlaku. Seorang personalitas politik yang
mengkonsepsikan dirinya dan masyarakat melalui konsepsi yang sama
dan sesuai dengan visi struktur pengalamannya, atau apa yang telah membudaya
dalam dirinya.
Menurut Mrazek,
struktur pengalaman Tan Malaka adalah tipe masyarakat Minangkabau pada akhir
abad yang lalu atau pemulaan abad
20 yang mempunyai “dinamisme” dan “anti parokhialisme”
sebagai ciri khasnya. Melalui
struktur pengalaman ini masyarakat
Minangkabau mempunyai perspektif,
yang sampai sekarang masih kuat dipegang, bahwa adat dan falsafah
Minangkabau memandang konflik sebagai esensi untuk mencapai dan mempertahankan perpaduan atau integrasi masyarakat.
Alam Minangkabau dilihat melalui kacamata “dialektika” yang selalu
mampu menemukan keserasian dalam suasana kontradiksi.
Disini Tan
Malaka adalah termasuk salah seorang inteletual Minangkabau yang menerima visi
atau idealisasi adat dan falsafah hidup masyarakat Minangkabau
tersebut. Juga proses penyerapan unsur-unsur luar atau
baru terutama dimungkinkan oleh “konsep rantau”. Yang dapat
dikatakan bahwa pergi merantau akan memberikan
pengalaman dan
pengetahuan baru yang didapatkannya dari luar. Dan kemana pun jauh perginya dia
merantau pun
akan tetap kembali ke asal. Dengan buah tangan pengalaman dan pengetahuan
tersebut diharapkan dapat memainkan peranan sosial di tengah masyarakat
sehingga mereka bisa ikut apa yang baik dari rantau dan membuang apa
yang buruk.
Biografi tentang
"Trostky" Indonesia itu memang memiliki keunikan
tersendiri, jika dibandingkan dengan Soekarno-Hatta yang terdidik, konservatif
dan datar saja. Berbeda sekali dengan Tan Malaka, bahwa sifat mengembara
(perantau dari Minangkabau) banyak mewarnai kehidupan politiknya. Sejak 1922
dia sudah pergi ke Belanda dan hampir menjadi anggota Parlemen, ke Jerman,
pindah ke Moskow mewakili Indonesia dalam Komintern ke IV dan diangkat menjadi
Kepala Biro Serikat Sekerja Timur Merah di Canton, 1924 ke Cina, 1925 ke Tokyo
sambil menulis buku Menuju Republik Indonesia, ke Philipina 1925, 1927 di
Bangkok mendirikan PARI, 1937 di Singapura mengajarkan bahasa Inggris. Tan
Malaka adalah satu-satunya tokoh pergerakan nasional
yang banyak bertandang ke berbagai negara.
Tan malaka
adalah tipe lain dari Soekarno, Hatta, dan Sjahrir. Ia adalah seorang guru yang
belajar di negeri Belanda, tetapi hidup dalam
lingkungan keluarga-keluarga buruh yang miskin
di sana. Setelah ia kembali ke Indonesia ia menjadi guru di Deli
dan disana ia melihat banyak ketidakadilan. Pengalaman-pengalamnnya yang
pahit mendapatkan penyalurannya di Semarang ketika ia bertemu dengan
Semaun dan kawan-kawanya pada tahun 1920-an. Waktu itu ia sakit TBC dan memerlukan
perawatan. Semaun yang menjamin makanan sehat (susu) baginya dan ia aktif di
PKI. Perlu dijelaskan, bahwa saat Tan Malaka bergabung dengan PKI di Semarang
itu telah mampu mengorganisasikan partai tersebut secara stabil. Walaupun
kemudian terdapat fraksi
di tubuh partai itu, yaitu antara Tan Malaka dan tokoh-tokoh PKI seperti Semaun
dan Alimin dalam mengadakan revolusi sosial. Yaitu ketika akan terjadi
pemberontakan Komunis 1926, Tan Malaka tidak menyetujuinya karena situasi
revolusioner di rakyat belum tercapai benar, lagi pula anggota PKI basisnya
relatif sedikit dan terfokus pada kaum buruh.
Dapat dilihat
bahwa pandangan nasionalisme Tan Malaka sangat kental ketimbang pandangan
Komunisme. Dalam memandang Komunisme Tan Malaka tidak dogmatis atas hasil pikir
dari Marx, tetapi metode berpikir Marx yang dikaitkan dengan konteks
historisnya lebih dia tekankan.
Kemudian
dari situlah tokoh-tokoh Komunis itu menyebut Tan Malaka sebagai pengkhianat
dan Trostky. Namun, Tan Malaka tidak memusingkan tuduhan tersebut karena
revolusi bagi Tan Malaka mencakup segala bidang baik fisik, mental (menentang
feodalisme), dan pemikiran (hal itu terlihat dalam bukunya Madilog). Revolusi bukanlah
sesuatu yang dikarang dalam otak saja dan bukan lahir atas seseorang yang mahir
sekalipun.
B.
Organisasi Politik
Berkembangnya
pergerakan kebangsaan tahun 1920-an mendorongnya berangkat ke Jawa Tahun
1921, meninggalkanpekerjaannya yang bergaji lumayan tinggi.Perkenalannya
dengan R. Soetopo seorang guru Sekolah Pertanian di
Purworejo mengenalkannya dengan Sarekat Islam
(SI) sertamembawanya ke kongres SI di
Yogyakarta tahun 1921.
Melalui SI, ia bertemu dengan tokoh-tokoh pergerakan
terkemuka, seperti Haji Oemar Said Tjokroaminoto, Haji
Agoes Salim,
Abdoel Moeis, Semaoen, Darsono, dll. Saat perkenalan itu
Semaoen sebagai Ketua SI cabang Semarang, terkesan
dengan Tan Malaka sebagai tokoh muda terpelajar yang mampu memahami islam dan
marxisme dengan baik. Kehadirannya diharapkan dapat menjembati perbedaan
pemahaman antara komunis dan Islam sehingga energi terbesar dalam perjuangan
kemerdekaan dapat dimaksimalkan.
Seusai kongres, Semaoen
mengajak Tan Malaka ke Semarang. Kedua aktivis Merah itu sepakat untuk
mendirikan sekolah kerakyatan yang bertujuan untuk mendidik calon-calon
pemimpin bangsa yang progresif-revolusioner dari kaum rakyat
proletar. Berdirilah sekolah pertama dengan murid
sebanyak 50 pada tanggal 21 Juni 1921 kemudian pada Maret 1922 sekolah sejenis
telah tersebar sampai ke Bandung dengan 200 murid. Pendirian sekolah-sekolah
ini sangat berhasil sehingga melambungkan nama Tan Malaka.
Tan
Malaka adalah Bapak Republik Indonesia, seorang aktifis pejuang kemerdekan Indonesia, seorang pemimpin sosialis, dan politisi yang mendirikan Partai
Murba. Pejuang yang militan, radikal, dan
revolusioner ini banyak melahirkan pemikiran-pemikiran yang berbobot dan
berperan besar dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia. Dengan
perjuangan yang gigih maka ia dikenal sebagai tokoh revolusioner yang
legendaris. Walaupun
berpandangan sosialis, ia juga sering terlibat konflik dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Tan Malaka pada tahun 1927 telah mendirikan PARI (Partai Republik
Indonesia) yang dengan sendirinya telah keluar dari PKI (Partai Komunis
Indonesia) dan seterusnya tulisan-tulisan Tan malaka sesudah tahun 1927
berkembang ke arah Nasional Revolusioner. Tahun 1921 itu juga Tan
Malaka juga aktif dalam perjuangan buruh. Dia pernah menjadi wakil ketua
Serikat Buruh. Pelikan (tambang) Cepu, yang
didirikan Semaun. Dalam tahun ini pula Kongres PKI memilihnya menjadi ketua
mewakili Semaun yang sedang berada di luar negeri. Karena kegiatannya yang
terus meningkat, hingga melibatkan diri dalam pemogokan buruh, maka tanggal 2
Maret 1922, Tan Malaka akhirnya ditangkap dan dibuang ke Kupang (Timor), tapi
kemudian dalam bulan ini juga keputusan dirubah menjadi externering atau pengasingan ke Negeri Belanda.
Tan Malaka
menghabiskan sebagian besar hidupnya dalam pembuangan di luar Indonesia, dan
secara tak henti-hentinya terancam dengan penahanan oleh penguasa Belanda dan
sekutu-sekutu mereka. Walaupun secara jelas disingkirkan, Tan Malaka dapat
memainkan peran intelektual penting dalam membangun jaringan gerakan sosialis
internasional untuk gerakan anti penjajahan di Asia Tenggara. Tan Malaka juga
seorang pendiri partai PARI dan Murba, berasal
dari Sarekat Islam (SI) Jakarta dan Semarang. Ia
dibesarkan dalam suasana semangatnya gerakan modernis Islam Kaoem Moeda di Sumatera Barat.
C.
Karya-Karya
Tan Malaka
Karya puncak pemikiran Tan Malaka
dalam “Madilog”, melukiskan bagaimana Tan Malaka
menggeluti berbagai agama. Nilai-nilai Marxisme dia ambil secara selektif dan
didasari dialektika dengan pemikiran-pemikiran lainnya, bahkan Tan Malaka pun
memperhitungkan faktor-faktor masyarakat di sekitarnya.
Karya besarnya “Madilog” mengajak dan memperkenalkan kepada bangsa Indonesia
cara berpikir ilmiah bukan berpikir secara kaji atau hafalan, bukan secara Text book thinking, atau bukan dogmatis
dan bukan doktriner. Madilog merupakan istilah baru dalam cara berpikir,
dengan menghubungkan ilmu bukti serta mengembangkan dengan jalan dan metode
yang sesuai dengan akar dan urat kebudayaan Indonesia sebagai bagian dari
kebudayaan dunia. Bukti adalah fakta dan fakta adalah lantainya ilmu bukti.
Bagi filsafat, idealisme yang pokok dan pertama adalah budi,
kesatuan, pikiran dan penginderaan. Filsafat materialisme menganggap alam,
benda dan realita nyata obyektif sekeliling sebagai yang ada, yang pokok dan
yang pertama.
Bagi Madilog (Materialisme,
Dialektika, Logika) yang pokok dan pertama adalah bukti, walau belum dapat
diterangkan secara rasional dan logika tapi jika fakta sebagai landasan ilmu
bukti itu ada secara konkrit, sekalipun ilmu pengetahuan secara rasional belum
dapat menjelaskannya dan belum dapat menjawab apa, mengapa dan bagaimana.
Semua karya Tan Malaka dan
permasalahannya dimulai dengan Indonesia. Konkritnya rakyat Indonesia, situasi
dan kondisi nusantara serta kebudayaan, sejarah lalu diakhiri dengan bagaimana
mengarahkan pemecahan masalahnya. Cara tradisi nyata bangsa Indonesia dengan
latar belakang sejarahnya bukanlah cara berpikir yang text book thinking dan untuk mencapai
Republik Indonesia sudah dicetuskan sejak tahun 1925 lewat Naar de Republiek Indonesia (mencapai
Republik Indonesia).
Karya-karya
Tan Malaka selain Madilog antara lain :
- Parlemen
atau Soviet (1920)
- SI
Semarang dan Onderwijs (1921)
- Dasar
Pendidikan (1921)
- Tunduk
Pada Kekuasaan Tapi Tidak Tunduk Pada Kebenaran (1922)
- Naar de
Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia) (1924)
- Semangat
Muda (1925)
- Massa
Actie (1926)
- Local
Actie dan National Actie (1926)
- Pari
dan Nasionalisten (1927)
- Pari
dan PKI (1927)
- Pari
International (1927)
- Manifesto
Bangkok(1927)
- Aslia
Bergabung (1943)
- Muslihat (1945)
- Rencana
Ekonomi Berjuang (1945)
- Politik (1945)
- Manifesto
Jakarta (1945)
- Thesis (1946)
- Pidato
Purwokerto (1946)
- Pidato
Solo (1946)
- Islam
dalam Tinjauan Madilog (1948)
- Gerpolek (1948)
- Pidato
Kediri (1948)
- Pandangan
Hidup (1948)
- Kuhandel
di Kaliurang (1948)
- Proklamasi
17-8-45 Isi dan Pelaksanaanya (1948)
- Dari
Pendjara ke Pendjara (1970)
Sumber :
Alfian. 1977. Tan Malaka: Pejuang Revolusioner yang
Kesepian. Jakarta: LP3ES.
A. Poeze, Harry. 1999. Tan
Malaka: Pergulatan Menuju Republik (terjemahan cetakan I).
Jakarta:
Pustaka Utama Grafiti.
Nasir, Zulhasril. 2007. Tan Malaka dan Gerakan Kiri Minangkabau. Yogyakarta: Ombak.
Rambe, Safrizal. 2003. Pemikiran
Politik Tan Malaka Kajian terhadapPerjuangan "Sang
Kiri
Nasionalis". Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar