Senin, 19 September 2016

DAERAH ISTIMEWA SURAKARTA (D.I.S.) TAHUN 1945-1946


Periode tahun 1945 hingga tahun 1950 merupakan periode yang menentukan bagi kelangsungan hidup negara RI yang baru diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945. Periode ini terjadi pembentukan sebuah negara dengan segala aparatnya, tetapi juga merupakan periode yang penuh dengan kekacauan, pemberontakan dan perang saudara. Proklamasi Kemerdekaan Indonesia adalah merupakan perwujudan formal daripada salah satu gerakan Revolusi Bangsa Indonesia untuk menyatakan baik kepada diri kita sendiri, maupun kepada dunia luar, bahwa bangsa Indonesia mulai pada saat itu telah mengambil sikap untuk menentukan bangsa dan nasib tanah air di dalam tangan bangsa sendiri, yaitu mendirikan negara sendiri termasuk antara lain tata hukum dan tata negaranya.
Kaitannya dengan sistem pemerintahan setelah berakhirnya jaman pendudukan Jepang, aparat pemerintahan umum masa penjajahan, sepanjang berhaluan dengan semangat Proklamasi, menjadi dinasionalkan dan hal itu dikuatkan dengan Undang-Undang No. 1 tahun 1945, sebagai Undang-Undang Pokok tentang pemerintahan daerah  yang pertama, yang memuat peraturan mengenai kedudukan Komite Nasional Daerah. Namun, menurut pasal dalam Komite Nasional Daerah, Komite Nasional Daerah ini tidak diadakan di Surakarta dan Jogjakarta, karena kedua daerah ini merupakan daerah Istimewa. Daerah Istimewa adalah daerah yang mempunyai hak asal-usul dan di jaman sebelum Republik Indonesia mempunyai pemerintahan yang bersifat istimewa. Keistimewaan daerah Istimewa adalah bahwa kepala (wakil kepala) Daerah Istimewa diangkat oleh Presiden Republik Indonesia dari keturunan keluarga yang berkuasa di daerah itu di jaman sebelum Republik Indonesia dan yang masih menguasai daerahnya, dengan syarat-syarat kecakapan, kejujuran, dan kesetiaan dan mengingat pula adat istiadat di daerah itu. Sesuai dengan penting atau tidaknya kedudukan sesuatu daerah istimewa, daerah itu akan diberi kedudukan yang setingkat dengan propinsi, kabupaten atau desa. Setelah Proklamasi kemerdekaan, pada tanggal 19 Agustus 1945 Presiden Republik Indonesia mengeluarkan Piagam penetapan yang berkaitan dengan sistem pemerintahan di daerah Surakarta,yaitu menetapkan Sri Susuhunan Paku Buwono XII dan Sri Mangkunegoro VIII sebagai kepala Pemerintahan Swapraja.
Keputusan ini menimbulkan reaksi rakyat yang tidak menghendaki adanya pemerintahan yang bersifat feodal. Pertentangan tentang masalah Swapraja ini menimbulkan adanya suatu gerakan politik yang saling bertentangan. Di satu sisi ada beberapa pihak yang tetap menghendaki pemerintahan Swapraja tetap berlangsung, namun di pihak lain terdapat gerakan anti Swapraja..
Di kalangan masyarakat timbul keresahan dan usaha-usaha untuk menggulingkan pemerintahan Swapraja dan menuntut kepada pemerintahan Republik Indonesia agar kepada pemerintahan Swapraja diganti dengan tenaga-tenaga yang berjiwa proklamasi. Di lingkungan pegawai Swapraja sendiri muncul ketidakpuasan terhadap para pemimpin pemerintahan Swapraja dan oleh sebab itu telah mulai menuntut agar para pemimpin-pemimpin tersebut diganti dengan tenaga-tenaga muda yang berjiwa revolusioner.
Untuk mengatasi keadaan yang kacau ini, Menteri Dalam Negeri ketika itu, Mr. Dr. Soedarsono, mengangkat Gubernur Suryo pada tanggal 27 Mei 1946 sebagai wakil pemerintahan di daerah Surakarta. Dan perkembangan selanjutnya pemerintahan mengeluarkan penetapan pemerintahan No. 16/SD/1946 tertanggal 15 Juli 1946, yang antara lain menegaskan bahwa untuk sementara waktu daerah Surakarta dijadikan daerah karesidenan, serta Pemerintah di daerah-daerah Surakarta dan Jogjakarta berada langsung di bawah pimpinan Pemerintah Pusat.
Kebijakan yang dilakukan oleh residen Surakarta adalah memusatkan kantor-kantor Pemerintah di Surakarta, maka residen Surakarta berkehendak untuk melakukan penggabungan Kantor Mangkunegaran dengan Kantor Karesidenan. Untuk lebih mengetahui tanggapan pihak Mangkunegaran akan dijabarkan dalam pembahasan bab selanjutnya.

PENGGABUNGAN KANTOR KARESIDENAN DAN KANTOR MANGKUNEGARAN SEBAGAI USAHA PEMUSATAN PEMERINTAH DI SURAKARTA TAHUN 1946.

Di Surakarta setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia 1945, Presiden RI mengeluarkan piagam kedudukan yang menetapkan Susuhunan Pakubuwono XII dan Sri Mangkunegoro VIII masing-masing pada kedudukannya sebagai kepala daerah Kasunanan dan kepala daerah Mangkunegaran. Dalam piagam termaksud kepada 2 raja tersebut ditaruh kepercayaan bahwa masing-masing akan menyerahkan segala pikiran, tenaga, jiwa, dan raga untuk keselamatan daerahnya sebagai bagian dari RI.  Sesuai Maklumat Sri Paduka Mangkunegoro VIII yang menyatakan bahwa kerajaan Mangkunegaran ialah suatu daerah Republik Indonesia juga, dan bahwa dalam segala-galanya pemerintahan Mangkunegaran akan tunduk pada Undang-Undang Dasar RI, dan berdiri di belakang presiden.
Tanggal 19 Agustus 1945, Surakarta ditetapkan sebagai Daerah Istimewa  (DIS) atau Swapraja oleh pemerintah RI. Hal ini menimbulkan reaksi keras dari para pejuang kemerdekaan di Surakarta dan menganggap hal ini bertolak belakang dengan semangat kemerdekaan atau revolusi. Kondisi ini merupakan awal munculnya reaksi hebat atas aksi anti Swapraja di Surakarta. Di lain hal, pihak dari pemimpin Swapraja sendiri, yaitu Mangkunegoro dan Raja Kasunanan pun juga mengikuti ketetapan dari Presiden tersebut untuk berkuasa di Surakarta dan berada langsung di bawah Presiden RI. Hal itu semakin memperkeruh keadaan dan mempertajam gerakan anti Swapraja.
Untuk menanggapi pemerintahan Swapraja tersebut, Gerakan Revolusioner di Surakarta muncul sebagai respon dari pernyataan kedua pemimpin Swapraja tersebut. Tanggal 9 Mei 1946 kaum revolusioner mengadakan rapat besar yang dihadiri beberapa organisasi politik yang dipimpin oleh Dr. Muwardi. Tujuan rapat ini adalah untuk membentuk dengan segera badan legislatif secara demokratis dan melalui pemilihan langsung untuk menentukan anggotanya. Langkah ini dilakukan sebagai bentuk oposisi atas kekuatan Swapraja. Tuntutan gerakan ini yaitu: (1) Menuntut dihapusnya Daerah Istimewa atau Swapraja Surakarta, (2) Menuntut penggantian Raja atau Susuhunan, (3) Menuntut perubahan-perubahan dalam peraturan Daerah Istimewa atau Swapraja yang tidak sesuai lagi dengan jamannya. Pada bulan April dan Mei 1946 suasana politik di Surakarta mulai panas. Satu sisi gerakan anti Swapraja berkembang luas hingga ke masyarakat desa sedangkan di sisi lain aksi penculikan-penculikan pun merajalela. Penculikan terhadap pejabat keraton, yaitu pepatih dalem dan wakilnya tersebut menyebabkan kekosongan jabatan yang kemudian diisi oleh Woerjaningrat yang diangkat Paku Buwana XII.
Untuk mengatasi permasalahan mengenai daerah Swapraja di Surakarta tersebut, tanggal 22-23 Mei 1946, pemerintah RI melalui Perdana Menteri dan Menteri Dalam Negeri mengundang kedua penguasa Swapraja untuk membicarakan keadaan Surakarta. Pembicaraan tentang keadaan Surakarta dan kekacauan akibat adanya kalangan pro dan anti Swapraja tersebut diikuti oleh Perdana Menteri Sutan Sjahrir, Menteri Dalam Negeri Dr. Soedarsono dan Menteri Penerangan Amir Syarifuddin mewakili Pemerintah Pusat RI. Dari pemerintah Swapraja sendiri diwakili oleh S.P. Ingkang Sinuhun beserta wakil Pepatih Dalem Woerjaningrat dan S.P. K.G.P.A.A Mangkoenogoro beserta Pepatih Dalem.
Dari pertemuan tersebut akhirnya tanggal 15 Juli 1946, Pemerintah RI menetapkan Surakarta sebagai Daerah Karesidenan untuk mengendalikan situasi di Surakarta dengan mengeluarkan UU. No. 16/SD/1946 yang menyebutkan:
1.      Jabatan Komisaris Tinggi ditiadakan
2.      Daerah Surakarta untuk sementara dijadikan daerah Karesidenan
3.      Dibentuk daerah baru dengan nama Daerah Kota Surakarta
Pada bulan Juli 1946 pemerintah pusat mengambil langkah yang tegas, yaitu membekukan Pemerintahan Swapraja dan mengangkat seorang Residen untuk menjalankan Pemerintahan. Mr. Iskak Tjokroadisoerjo dilantik oleh Presiden sebagai Residen di Surakarta dengan wakil Residen Soediro dari Laskar Banteng. Iskak Tjokroadisuryo dan Soediro setelah beberapa lama bertugas, akhirnya mampu menyelesaikan beberapa permasalahan, diantaranya :
1.      Menghapus perbatasan daerah Kasunanan dan Mangkunegaran, serta Kota Surakarta yang baru terbentuk, terdiri dari bekas wilayah Kasunanan (selatan rel) dan bekas wilayah Mangkunegaran (utara rel).
2.      Dibentuk dua kabupaten baru, yaitu Kabupaten Sukoharjo dan Kabupaten Karanganyar.
3.      Pembentukan Dewan Perwakilan Rakyat untuk Daerah Surakarta dan untuk tiap-tiap kabupaten, dimana Dewan Perwakilan Rakyat bersama residen akan dipimpin oleh residen untuk mengatur pemerintahan sebaik mungkin.
4.      Dewan Perwakilan Rakyat kabupaten dan kota Surakarta bersama bupati dan walikota berusaha menyelenggarakan urusan pemerintahan di kabupaten dan kota Surakarta sesuai dengan peraturan yang berlaku untuk seluruh Karesidenan Surakarta. Mereka harus selalu memberi laporan kepada residen dan wakil residen tentang segala sesuatu yang sudah dilaksanakan dan yang akan dilaksanakan.
5.      Semua bekas pegawai Kasunanan dan Mangkunegaran dijadikan pegawai daerah otonom baru dan dinyatakan tidak berada lagi dibawah pimpinan Paku Buwana dan Mangkunegoro VIII.
Beberapa kebijaksanaan yang dibuat oleh Residen dan wakil residen tersebut pada hakikatnya bersifat konstruktif bagi perkembangan Surakarta untuk menjadikan daerah biasa dalam negara RI. Konsep tersebut disusun menuju kepada penghapusan struktur feodal dan menggantikan dengan struktur yang baru, demokratis sesuai UUD 1945. Tanggal 6 Agustus 1946 dengan keputusan Residen Surakarta tanggal 7 Agustus 1946 ditetapkan bahwa telah dibentuk susunan Dewan Perwakilan Rakyat Surakarta. Dewan Perwakilan Rakyat menggantikan kinerja KNI Daerah sebagai Badan Legislatif.
Salah satu dalam kebijaksanaan yang dibuat oleh Residen dan wakil residen tentang  semua bekas pegawai Kasunanan dan Mangkunegaran dijadikan pegawai daerah otonom baru dan dinyatakan tidak berada lagi dibawah pimpinan Paku Buwana dan Mangkunegoro VIII, yaitu dengan melakukan pemusatan kantor-kantor Pemerintah di Surakarta. Langkah yang diambil oleh Residen Surakarta adalah dengan melakukan pembicaraan tentang penggabungan Kantor Mangkunegaran dengan Kantor Karesidenan.[1] Hal tersebut ditanggapi oleh pihak Mangkunegaran, namun kurang tepat jika hal tersebut jika dihadiri oleh Sri Paduka Mangkunegara VIII dan meminta agar pihak Residen Surakarta berhubungan langsung kepada pegawai-pegawai yang bersangkutan.
Mangkunegoro VIII yang melayangkan surat kepada Pembesar Djawatan Martoprodjo Mangkunegaran menanyakan tentang keberjalanan penggabungan Kantor Djawatan Martoprodjo Mangkunegaran beserta seluruh isinya dengan Kantor Karesidenan. Rn. Ng. Soedarjo Hardjosantoho selaku Pembesar Djawatan Martoprodjo menjelaskan bahwa kantor-kantor yang ada di Djawatan Martoprodjo Mangkunegaran setelah penggabungan, antara lain:
1.      Kantor Martoprodjo
Yang telah digabungkan dengan resmi ialah hanya yang mengenai pajak pendapatan, rumah tangga, pajak bumi, dan pajak tanah di kota-kota. Tentang urusan hasil negri lainnya seperti pajak kendaraan, pajak tontonan, wang serambi dan lainnya masih berkantor di Mangkunegaran.
2.      Kantor Martanimpoeno
 Kantor Martanimpoeno dimasukkan dalam likuidasi kantor Karesidenan.
3.      Kantor Nitiwara
Kantor ini sepenuhnya bergabung dengan kantor Komtabiliteit Karesidenan.
4.      Kantor Reksahardana
Kantor ini termasuk dalam lingkungan likuidasi kantor Karesidenan.
5.      Kantor Hamongpandojo
Menurut Kepala Kantor Hamongpandojo, kantor ini sudah bergabung dengan Balai Kota.
6.      Kantor Hanonhardono
Kantor tersebut juga sudah bergabung dengan negara.
hanya kantor Banda Pensioen dan kantor Pasinaon yang belum menggabungkan diri dan tidak dapat dijelaskan tentang likuidasi kantor.
            Dengan demikian, usaha pemusatan pemerintah yang dilakukan oleh Residen Surakarta dilakukan secara bertahap dan mendapat dukungan penuh dari pihak Mangkunegaran. Sistem Pemerintahan RI yang berangsur-angsur mengalami perubahan nantinya akan mempengaruhi struktur pemerintahan yang ada di tiap daerah di Indonesia.

Sumber :

Joeniarto. 1966. Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia. Yogyakarta: Bumi Aksara.
Kartodirjo. 1982. Kartodirjo. Kepemimpinan Dalam Sejarah Indonesia. Yogyakarta: Supersukses.
Woerjaningrat. 1986. Sekedar Uraian tentang Swapraja Surakarta.
Wajong, J. 1972. Kedudukan Dan Tugas Pamong Praja. Jakarta: Ichtiar.
Surat No. 201/3/17 tanggal 21 Oktober 1946 perihal Gabungan Djawatan Kantor-Kantor Mangkunegaran dari Pembesar Djawatan Martoprodjo Kepada Sri Paduka Mangkunegoro VIII, (Mangkunegaran: Arsip Reksopustoko).                                                                     
Surat No. 10502/0/29 tanggal 7 Oktober 1946 tentang Pemusatan Kantor-Kantor Pemerintah dari Residen Surakarta kepada Sri Paduka Mangkunegoro VIII, (Mangkunegaran: Arsip Reksopustoko, No. 719).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar