DAERAH ISTIMEWA SURAKARTA (D.I.S.)
TAHUN 1945-1946
Periode tahun 1945 hingga tahun 1950 merupakan periode yang
menentukan bagi kelangsungan hidup negara RI yang baru diproklamasikan pada
tanggal 17 Agustus 1945. Periode ini terjadi pembentukan sebuah negara dengan
segala aparatnya, tetapi juga merupakan periode yang penuh dengan kekacauan,
pemberontakan dan perang saudara. Proklamasi Kemerdekaan Indonesia adalah
merupakan perwujudan formal daripada salah satu gerakan Revolusi Bangsa
Indonesia untuk menyatakan baik kepada diri kita sendiri, maupun kepada dunia
luar, bahwa bangsa Indonesia mulai pada saat itu telah mengambil sikap untuk
menentukan bangsa dan nasib tanah air di dalam tangan bangsa sendiri, yaitu
mendirikan negara sendiri termasuk antara lain tata hukum dan tata negaranya.
Kaitannya dengan sistem pemerintahan setelah berakhirnya jaman
pendudukan Jepang, aparat pemerintahan umum masa penjajahan, sepanjang
berhaluan dengan semangat Proklamasi, menjadi dinasionalkan dan hal itu
dikuatkan dengan Undang-Undang No. 1 tahun 1945, sebagai Undang-Undang Pokok
tentang pemerintahan daerah yang
pertama, yang memuat peraturan mengenai kedudukan Komite Nasional Daerah. Namun,
menurut pasal dalam Komite Nasional Daerah, Komite Nasional Daerah ini tidak
diadakan di Surakarta dan Jogjakarta, karena kedua daerah ini merupakan daerah
Istimewa. Daerah Istimewa adalah daerah yang mempunyai hak asal-usul dan di jaman
sebelum Republik Indonesia mempunyai pemerintahan yang bersifat istimewa.
Keistimewaan daerah Istimewa adalah bahwa kepala (wakil kepala) Daerah Istimewa
diangkat oleh Presiden Republik Indonesia dari keturunan keluarga yang berkuasa
di daerah itu di jaman sebelum Republik Indonesia dan yang masih menguasai
daerahnya, dengan syarat-syarat kecakapan, kejujuran, dan kesetiaan dan
mengingat pula adat istiadat di daerah itu. Sesuai dengan penting atau tidaknya
kedudukan sesuatu daerah istimewa, daerah itu akan diberi kedudukan yang
setingkat dengan propinsi, kabupaten atau desa. Setelah Proklamasi kemerdekaan,
pada tanggal 19 Agustus 1945 Presiden Republik Indonesia mengeluarkan Piagam
penetapan yang berkaitan dengan sistem pemerintahan di daerah Surakarta,yaitu
menetapkan Sri Susuhunan Paku Buwono XII dan Sri Mangkunegoro VIII sebagai
kepala Pemerintahan Swapraja.
Keputusan ini menimbulkan reaksi rakyat yang tidak
menghendaki adanya pemerintahan yang bersifat feodal. Pertentangan tentang masalah
Swapraja ini menimbulkan adanya suatu gerakan politik yang saling bertentangan.
Di satu sisi ada beberapa pihak yang tetap menghendaki pemerintahan Swapraja
tetap berlangsung, namun di pihak lain terdapat gerakan anti Swapraja..
Di kalangan masyarakat timbul keresahan dan usaha-usaha
untuk menggulingkan pemerintahan Swapraja dan menuntut kepada pemerintahan
Republik Indonesia agar kepada pemerintahan Swapraja diganti dengan
tenaga-tenaga yang berjiwa proklamasi. Di lingkungan pegawai Swapraja sendiri
muncul ketidakpuasan terhadap para pemimpin pemerintahan Swapraja dan oleh
sebab itu telah mulai menuntut agar para pemimpin-pemimpin tersebut diganti
dengan tenaga-tenaga muda yang berjiwa revolusioner.
Untuk mengatasi keadaan yang kacau ini, Menteri Dalam Negeri
ketika itu, Mr. Dr. Soedarsono, mengangkat Gubernur Suryo pada tanggal 27 Mei
1946 sebagai wakil pemerintahan di daerah Surakarta. Dan perkembangan
selanjutnya pemerintahan mengeluarkan penetapan pemerintahan No. 16/SD/1946
tertanggal 15 Juli 1946, yang antara lain menegaskan bahwa untuk sementara
waktu daerah Surakarta dijadikan daerah karesidenan, serta Pemerintah di
daerah-daerah Surakarta dan Jogjakarta berada langsung di bawah pimpinan
Pemerintah Pusat.
Kebijakan yang dilakukan oleh residen Surakarta adalah
memusatkan kantor-kantor Pemerintah di Surakarta, maka residen Surakarta
berkehendak untuk melakukan penggabungan Kantor Mangkunegaran dengan Kantor
Karesidenan. Untuk lebih mengetahui tanggapan pihak Mangkunegaran akan
dijabarkan dalam pembahasan bab selanjutnya.
PENGGABUNGAN KANTOR KARESIDENAN DAN KANTOR MANGKUNEGARAN
SEBAGAI USAHA PEMUSATAN PEMERINTAH DI SURAKARTA TAHUN 1946.
Di Surakarta setelah
proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia 1945, Presiden RI mengeluarkan piagam
kedudukan yang menetapkan Susuhunan Pakubuwono XII dan Sri Mangkunegoro VIII
masing-masing pada kedudukannya sebagai kepala daerah Kasunanan dan kepala
daerah Mangkunegaran. Dalam piagam termaksud kepada 2 raja tersebut ditaruh
kepercayaan bahwa masing-masing akan menyerahkan segala pikiran, tenaga, jiwa,
dan raga untuk keselamatan daerahnya sebagai bagian dari RI. Sesuai Maklumat Sri Paduka Mangkunegoro VIII yang menyatakan bahwa
kerajaan Mangkunegaran ialah suatu daerah Republik Indonesia juga, dan bahwa
dalam segala-galanya pemerintahan Mangkunegaran akan tunduk pada Undang-Undang
Dasar RI, dan berdiri di belakang presiden.
Tanggal 19 Agustus 1945, Surakarta ditetapkan sebagai Daerah
Istimewa (DIS) atau Swapraja oleh
pemerintah RI. Hal ini menimbulkan reaksi keras dari para pejuang kemerdekaan
di Surakarta dan menganggap hal ini bertolak belakang dengan semangat
kemerdekaan atau revolusi. Kondisi ini merupakan awal munculnya reaksi hebat
atas aksi anti Swapraja di Surakarta. Di lain hal, pihak dari pemimpin Swapraja
sendiri, yaitu Mangkunegoro dan Raja Kasunanan pun juga mengikuti ketetapan
dari Presiden tersebut untuk berkuasa di Surakarta dan berada langsung di bawah
Presiden RI. Hal itu semakin memperkeruh keadaan dan mempertajam gerakan anti
Swapraja.
Untuk menanggapi pemerintahan Swapraja tersebut, Gerakan
Revolusioner di Surakarta muncul sebagai respon dari pernyataan kedua pemimpin
Swapraja tersebut. Tanggal 9 Mei 1946 kaum revolusioner mengadakan rapat besar
yang dihadiri beberapa organisasi politik yang dipimpin oleh Dr. Muwardi.
Tujuan rapat ini adalah untuk membentuk dengan segera badan legislatif secara
demokratis dan melalui pemilihan langsung untuk menentukan anggotanya. Langkah
ini dilakukan sebagai bentuk oposisi atas kekuatan Swapraja. Tuntutan gerakan
ini yaitu: (1) Menuntut dihapusnya Daerah Istimewa atau Swapraja Surakarta, (2)
Menuntut penggantian Raja atau Susuhunan, (3) Menuntut perubahan-perubahan
dalam peraturan Daerah Istimewa atau Swapraja yang tidak sesuai lagi dengan
jamannya. Pada bulan April dan Mei 1946 suasana politik di Surakarta mulai
panas. Satu sisi gerakan anti Swapraja berkembang luas hingga ke masyarakat
desa sedangkan di sisi lain aksi penculikan-penculikan pun merajalela.
Penculikan terhadap pejabat keraton, yaitu pepatih dalem dan wakilnya tersebut
menyebabkan kekosongan jabatan yang kemudian diisi oleh Woerjaningrat yang
diangkat Paku Buwana XII.
Untuk mengatasi permasalahan mengenai daerah Swapraja di
Surakarta tersebut, tanggal 22-23 Mei 1946, pemerintah RI melalui Perdana
Menteri dan Menteri Dalam Negeri mengundang kedua penguasa Swapraja untuk
membicarakan keadaan Surakarta. Pembicaraan tentang keadaan Surakarta dan
kekacauan akibat adanya kalangan pro dan anti Swapraja tersebut diikuti oleh
Perdana Menteri Sutan Sjahrir, Menteri Dalam Negeri Dr. Soedarsono dan Menteri
Penerangan Amir Syarifuddin mewakili Pemerintah Pusat RI. Dari pemerintah Swapraja
sendiri diwakili oleh S.P. Ingkang Sinuhun beserta wakil Pepatih Dalem
Woerjaningrat dan S.P. K.G.P.A.A Mangkoenogoro beserta Pepatih Dalem.
Dari pertemuan tersebut akhirnya tanggal 15 Juli 1946,
Pemerintah RI menetapkan Surakarta sebagai Daerah Karesidenan untuk
mengendalikan situasi di Surakarta dengan mengeluarkan UU. No. 16/SD/1946 yang
menyebutkan:
1.
Jabatan
Komisaris Tinggi ditiadakan
2.
Daerah
Surakarta untuk sementara dijadikan daerah Karesidenan
3.
Dibentuk
daerah baru dengan nama Daerah Kota Surakarta
Pada bulan Juli 1946 pemerintah pusat mengambil langkah yang
tegas, yaitu membekukan Pemerintahan Swapraja dan mengangkat seorang Residen
untuk menjalankan Pemerintahan. Mr. Iskak Tjokroadisoerjo dilantik oleh
Presiden sebagai Residen di Surakarta dengan wakil Residen Soediro dari Laskar
Banteng. Iskak Tjokroadisuryo dan Soediro setelah beberapa lama bertugas,
akhirnya mampu menyelesaikan beberapa permasalahan, diantaranya :
1. Menghapus perbatasan daerah
Kasunanan dan Mangkunegaran, serta Kota Surakarta yang baru terbentuk, terdiri
dari bekas wilayah Kasunanan (selatan rel) dan bekas wilayah Mangkunegaran
(utara rel).
2. Dibentuk dua kabupaten baru, yaitu
Kabupaten Sukoharjo dan Kabupaten Karanganyar.
3. Pembentukan Dewan Perwakilan Rakyat
untuk Daerah Surakarta dan untuk tiap-tiap kabupaten, dimana Dewan Perwakilan
Rakyat bersama residen akan dipimpin oleh residen untuk mengatur pemerintahan
sebaik mungkin.
4. Dewan Perwakilan Rakyat kabupaten
dan kota Surakarta bersama bupati dan walikota berusaha menyelenggarakan urusan
pemerintahan di kabupaten dan kota Surakarta sesuai dengan peraturan yang
berlaku untuk seluruh Karesidenan Surakarta. Mereka harus selalu memberi
laporan kepada residen dan wakil residen tentang segala sesuatu yang sudah
dilaksanakan dan yang akan dilaksanakan.
5. Semua bekas pegawai Kasunanan dan
Mangkunegaran dijadikan pegawai daerah otonom baru dan dinyatakan tidak berada
lagi dibawah pimpinan Paku Buwana dan Mangkunegoro VIII.
Beberapa kebijaksanaan yang dibuat oleh Residen dan wakil
residen tersebut pada hakikatnya bersifat konstruktif bagi perkembangan
Surakarta untuk menjadikan daerah biasa dalam negara RI. Konsep tersebut
disusun menuju kepada penghapusan struktur feodal dan menggantikan dengan
struktur yang baru, demokratis sesuai UUD 1945. Tanggal 6 Agustus 1946 dengan
keputusan Residen Surakarta tanggal 7 Agustus 1946 ditetapkan bahwa telah
dibentuk susunan Dewan Perwakilan Rakyat Surakarta. Dewan Perwakilan Rakyat
menggantikan kinerja KNI Daerah sebagai Badan Legislatif.
Salah satu dalam kebijaksanaan yang dibuat oleh Residen dan
wakil residen tentang semua bekas
pegawai Kasunanan dan Mangkunegaran dijadikan pegawai daerah otonom baru dan
dinyatakan tidak berada lagi dibawah pimpinan Paku Buwana dan Mangkunegoro VIII,
yaitu dengan melakukan pemusatan kantor-kantor Pemerintah di Surakarta. Langkah
yang diambil oleh Residen Surakarta adalah dengan melakukan pembicaraan tentang
penggabungan Kantor Mangkunegaran dengan Kantor Karesidenan.[1]
Hal tersebut ditanggapi oleh pihak Mangkunegaran, namun kurang tepat jika hal
tersebut jika dihadiri oleh Sri Paduka Mangkunegara VIII dan meminta agar pihak
Residen Surakarta berhubungan langsung kepada pegawai-pegawai yang
bersangkutan.
Mangkunegoro VIII yang melayangkan surat kepada Pembesar
Djawatan Martoprodjo Mangkunegaran menanyakan tentang keberjalanan penggabungan
Kantor Djawatan Martoprodjo Mangkunegaran beserta seluruh isinya dengan Kantor
Karesidenan. Rn. Ng. Soedarjo Hardjosantoho selaku Pembesar Djawatan
Martoprodjo menjelaskan bahwa kantor-kantor yang ada di Djawatan Martoprodjo Mangkunegaran
setelah penggabungan, antara lain:
1.
Kantor
Martoprodjo
Yang telah digabungkan dengan resmi
ialah hanya yang mengenai pajak pendapatan, rumah tangga, pajak bumi, dan pajak
tanah di kota-kota. Tentang urusan hasil negri lainnya seperti pajak kendaraan,
pajak tontonan, wang serambi dan lainnya masih berkantor di Mangkunegaran.
2.
Kantor
Martanimpoeno
Kantor Martanimpoeno dimasukkan
dalam likuidasi kantor Karesidenan.
3.
Kantor
Nitiwara
Kantor ini sepenuhnya bergabung dengan
kantor Komtabiliteit Karesidenan.
4.
Kantor
Reksahardana
Kantor ini termasuk dalam lingkungan
likuidasi kantor Karesidenan.
5.
Kantor
Hamongpandojo
Menurut Kepala Kantor Hamongpandojo,
kantor ini sudah bergabung dengan Balai Kota.
6.
Kantor
Hanonhardono
Kantor tersebut juga sudah bergabung dengan negara.
hanya
kantor Banda Pensioen dan kantor Pasinaon yang belum menggabungkan diri dan
tidak dapat dijelaskan tentang likuidasi kantor.
Dengan demikian, usaha pemusatan
pemerintah yang dilakukan oleh Residen Surakarta dilakukan secara bertahap dan
mendapat dukungan penuh dari pihak Mangkunegaran. Sistem Pemerintahan RI yang
berangsur-angsur mengalami perubahan nantinya akan mempengaruhi struktur
pemerintahan yang ada di tiap daerah di Indonesia.
Sumber :
Joeniarto. 1966. Sejarah
Ketatanegaraan Republik Indonesia. Yogyakarta: Bumi Aksara.
Kartodirjo. 1982. Kartodirjo. Kepemimpinan Dalam Sejarah Indonesia.
Yogyakarta: Supersukses.
Woerjaningrat. 1986. Sekedar Uraian tentang Swapraja Surakarta.
Wajong, J. 1972. Kedudukan Dan Tugas Pamong Praja. Jakarta:
Ichtiar.
Surat
No. 201/3/17 tanggal 21 Oktober 1946 perihal Gabungan Djawatan Kantor-Kantor
Mangkunegaran dari Pembesar Djawatan Martoprodjo Kepada Sri Paduka Mangkunegoro
VIII,
(Mangkunegaran: Arsip Reksopustoko).
Surat No. 10502/0/29 tanggal 7 Oktober 1946
tentang Pemusatan Kantor-Kantor Pemerintah dari Residen Surakarta kepada Sri
Paduka Mangkunegoro VIII, (Mangkunegaran: Arsip Reksopustoko, No. 719).