Senin, 19 September 2016

DAERAH ISTIMEWA SURAKARTA (D.I.S.) TAHUN 1945-1946


Periode tahun 1945 hingga tahun 1950 merupakan periode yang menentukan bagi kelangsungan hidup negara RI yang baru diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945. Periode ini terjadi pembentukan sebuah negara dengan segala aparatnya, tetapi juga merupakan periode yang penuh dengan kekacauan, pemberontakan dan perang saudara. Proklamasi Kemerdekaan Indonesia adalah merupakan perwujudan formal daripada salah satu gerakan Revolusi Bangsa Indonesia untuk menyatakan baik kepada diri kita sendiri, maupun kepada dunia luar, bahwa bangsa Indonesia mulai pada saat itu telah mengambil sikap untuk menentukan bangsa dan nasib tanah air di dalam tangan bangsa sendiri, yaitu mendirikan negara sendiri termasuk antara lain tata hukum dan tata negaranya.
Kaitannya dengan sistem pemerintahan setelah berakhirnya jaman pendudukan Jepang, aparat pemerintahan umum masa penjajahan, sepanjang berhaluan dengan semangat Proklamasi, menjadi dinasionalkan dan hal itu dikuatkan dengan Undang-Undang No. 1 tahun 1945, sebagai Undang-Undang Pokok tentang pemerintahan daerah  yang pertama, yang memuat peraturan mengenai kedudukan Komite Nasional Daerah. Namun, menurut pasal dalam Komite Nasional Daerah, Komite Nasional Daerah ini tidak diadakan di Surakarta dan Jogjakarta, karena kedua daerah ini merupakan daerah Istimewa. Daerah Istimewa adalah daerah yang mempunyai hak asal-usul dan di jaman sebelum Republik Indonesia mempunyai pemerintahan yang bersifat istimewa. Keistimewaan daerah Istimewa adalah bahwa kepala (wakil kepala) Daerah Istimewa diangkat oleh Presiden Republik Indonesia dari keturunan keluarga yang berkuasa di daerah itu di jaman sebelum Republik Indonesia dan yang masih menguasai daerahnya, dengan syarat-syarat kecakapan, kejujuran, dan kesetiaan dan mengingat pula adat istiadat di daerah itu. Sesuai dengan penting atau tidaknya kedudukan sesuatu daerah istimewa, daerah itu akan diberi kedudukan yang setingkat dengan propinsi, kabupaten atau desa. Setelah Proklamasi kemerdekaan, pada tanggal 19 Agustus 1945 Presiden Republik Indonesia mengeluarkan Piagam penetapan yang berkaitan dengan sistem pemerintahan di daerah Surakarta,yaitu menetapkan Sri Susuhunan Paku Buwono XII dan Sri Mangkunegoro VIII sebagai kepala Pemerintahan Swapraja.
Keputusan ini menimbulkan reaksi rakyat yang tidak menghendaki adanya pemerintahan yang bersifat feodal. Pertentangan tentang masalah Swapraja ini menimbulkan adanya suatu gerakan politik yang saling bertentangan. Di satu sisi ada beberapa pihak yang tetap menghendaki pemerintahan Swapraja tetap berlangsung, namun di pihak lain terdapat gerakan anti Swapraja..
Di kalangan masyarakat timbul keresahan dan usaha-usaha untuk menggulingkan pemerintahan Swapraja dan menuntut kepada pemerintahan Republik Indonesia agar kepada pemerintahan Swapraja diganti dengan tenaga-tenaga yang berjiwa proklamasi. Di lingkungan pegawai Swapraja sendiri muncul ketidakpuasan terhadap para pemimpin pemerintahan Swapraja dan oleh sebab itu telah mulai menuntut agar para pemimpin-pemimpin tersebut diganti dengan tenaga-tenaga muda yang berjiwa revolusioner.
Untuk mengatasi keadaan yang kacau ini, Menteri Dalam Negeri ketika itu, Mr. Dr. Soedarsono, mengangkat Gubernur Suryo pada tanggal 27 Mei 1946 sebagai wakil pemerintahan di daerah Surakarta. Dan perkembangan selanjutnya pemerintahan mengeluarkan penetapan pemerintahan No. 16/SD/1946 tertanggal 15 Juli 1946, yang antara lain menegaskan bahwa untuk sementara waktu daerah Surakarta dijadikan daerah karesidenan, serta Pemerintah di daerah-daerah Surakarta dan Jogjakarta berada langsung di bawah pimpinan Pemerintah Pusat.
Kebijakan yang dilakukan oleh residen Surakarta adalah memusatkan kantor-kantor Pemerintah di Surakarta, maka residen Surakarta berkehendak untuk melakukan penggabungan Kantor Mangkunegaran dengan Kantor Karesidenan. Untuk lebih mengetahui tanggapan pihak Mangkunegaran akan dijabarkan dalam pembahasan bab selanjutnya.

PENGGABUNGAN KANTOR KARESIDENAN DAN KANTOR MANGKUNEGARAN SEBAGAI USAHA PEMUSATAN PEMERINTAH DI SURAKARTA TAHUN 1946.

Di Surakarta setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia 1945, Presiden RI mengeluarkan piagam kedudukan yang menetapkan Susuhunan Pakubuwono XII dan Sri Mangkunegoro VIII masing-masing pada kedudukannya sebagai kepala daerah Kasunanan dan kepala daerah Mangkunegaran. Dalam piagam termaksud kepada 2 raja tersebut ditaruh kepercayaan bahwa masing-masing akan menyerahkan segala pikiran, tenaga, jiwa, dan raga untuk keselamatan daerahnya sebagai bagian dari RI.  Sesuai Maklumat Sri Paduka Mangkunegoro VIII yang menyatakan bahwa kerajaan Mangkunegaran ialah suatu daerah Republik Indonesia juga, dan bahwa dalam segala-galanya pemerintahan Mangkunegaran akan tunduk pada Undang-Undang Dasar RI, dan berdiri di belakang presiden.
Tanggal 19 Agustus 1945, Surakarta ditetapkan sebagai Daerah Istimewa  (DIS) atau Swapraja oleh pemerintah RI. Hal ini menimbulkan reaksi keras dari para pejuang kemerdekaan di Surakarta dan menganggap hal ini bertolak belakang dengan semangat kemerdekaan atau revolusi. Kondisi ini merupakan awal munculnya reaksi hebat atas aksi anti Swapraja di Surakarta. Di lain hal, pihak dari pemimpin Swapraja sendiri, yaitu Mangkunegoro dan Raja Kasunanan pun juga mengikuti ketetapan dari Presiden tersebut untuk berkuasa di Surakarta dan berada langsung di bawah Presiden RI. Hal itu semakin memperkeruh keadaan dan mempertajam gerakan anti Swapraja.
Untuk menanggapi pemerintahan Swapraja tersebut, Gerakan Revolusioner di Surakarta muncul sebagai respon dari pernyataan kedua pemimpin Swapraja tersebut. Tanggal 9 Mei 1946 kaum revolusioner mengadakan rapat besar yang dihadiri beberapa organisasi politik yang dipimpin oleh Dr. Muwardi. Tujuan rapat ini adalah untuk membentuk dengan segera badan legislatif secara demokratis dan melalui pemilihan langsung untuk menentukan anggotanya. Langkah ini dilakukan sebagai bentuk oposisi atas kekuatan Swapraja. Tuntutan gerakan ini yaitu: (1) Menuntut dihapusnya Daerah Istimewa atau Swapraja Surakarta, (2) Menuntut penggantian Raja atau Susuhunan, (3) Menuntut perubahan-perubahan dalam peraturan Daerah Istimewa atau Swapraja yang tidak sesuai lagi dengan jamannya. Pada bulan April dan Mei 1946 suasana politik di Surakarta mulai panas. Satu sisi gerakan anti Swapraja berkembang luas hingga ke masyarakat desa sedangkan di sisi lain aksi penculikan-penculikan pun merajalela. Penculikan terhadap pejabat keraton, yaitu pepatih dalem dan wakilnya tersebut menyebabkan kekosongan jabatan yang kemudian diisi oleh Woerjaningrat yang diangkat Paku Buwana XII.
Untuk mengatasi permasalahan mengenai daerah Swapraja di Surakarta tersebut, tanggal 22-23 Mei 1946, pemerintah RI melalui Perdana Menteri dan Menteri Dalam Negeri mengundang kedua penguasa Swapraja untuk membicarakan keadaan Surakarta. Pembicaraan tentang keadaan Surakarta dan kekacauan akibat adanya kalangan pro dan anti Swapraja tersebut diikuti oleh Perdana Menteri Sutan Sjahrir, Menteri Dalam Negeri Dr. Soedarsono dan Menteri Penerangan Amir Syarifuddin mewakili Pemerintah Pusat RI. Dari pemerintah Swapraja sendiri diwakili oleh S.P. Ingkang Sinuhun beserta wakil Pepatih Dalem Woerjaningrat dan S.P. K.G.P.A.A Mangkoenogoro beserta Pepatih Dalem.
Dari pertemuan tersebut akhirnya tanggal 15 Juli 1946, Pemerintah RI menetapkan Surakarta sebagai Daerah Karesidenan untuk mengendalikan situasi di Surakarta dengan mengeluarkan UU. No. 16/SD/1946 yang menyebutkan:
1.      Jabatan Komisaris Tinggi ditiadakan
2.      Daerah Surakarta untuk sementara dijadikan daerah Karesidenan
3.      Dibentuk daerah baru dengan nama Daerah Kota Surakarta
Pada bulan Juli 1946 pemerintah pusat mengambil langkah yang tegas, yaitu membekukan Pemerintahan Swapraja dan mengangkat seorang Residen untuk menjalankan Pemerintahan. Mr. Iskak Tjokroadisoerjo dilantik oleh Presiden sebagai Residen di Surakarta dengan wakil Residen Soediro dari Laskar Banteng. Iskak Tjokroadisuryo dan Soediro setelah beberapa lama bertugas, akhirnya mampu menyelesaikan beberapa permasalahan, diantaranya :
1.      Menghapus perbatasan daerah Kasunanan dan Mangkunegaran, serta Kota Surakarta yang baru terbentuk, terdiri dari bekas wilayah Kasunanan (selatan rel) dan bekas wilayah Mangkunegaran (utara rel).
2.      Dibentuk dua kabupaten baru, yaitu Kabupaten Sukoharjo dan Kabupaten Karanganyar.
3.      Pembentukan Dewan Perwakilan Rakyat untuk Daerah Surakarta dan untuk tiap-tiap kabupaten, dimana Dewan Perwakilan Rakyat bersama residen akan dipimpin oleh residen untuk mengatur pemerintahan sebaik mungkin.
4.      Dewan Perwakilan Rakyat kabupaten dan kota Surakarta bersama bupati dan walikota berusaha menyelenggarakan urusan pemerintahan di kabupaten dan kota Surakarta sesuai dengan peraturan yang berlaku untuk seluruh Karesidenan Surakarta. Mereka harus selalu memberi laporan kepada residen dan wakil residen tentang segala sesuatu yang sudah dilaksanakan dan yang akan dilaksanakan.
5.      Semua bekas pegawai Kasunanan dan Mangkunegaran dijadikan pegawai daerah otonom baru dan dinyatakan tidak berada lagi dibawah pimpinan Paku Buwana dan Mangkunegoro VIII.
Beberapa kebijaksanaan yang dibuat oleh Residen dan wakil residen tersebut pada hakikatnya bersifat konstruktif bagi perkembangan Surakarta untuk menjadikan daerah biasa dalam negara RI. Konsep tersebut disusun menuju kepada penghapusan struktur feodal dan menggantikan dengan struktur yang baru, demokratis sesuai UUD 1945. Tanggal 6 Agustus 1946 dengan keputusan Residen Surakarta tanggal 7 Agustus 1946 ditetapkan bahwa telah dibentuk susunan Dewan Perwakilan Rakyat Surakarta. Dewan Perwakilan Rakyat menggantikan kinerja KNI Daerah sebagai Badan Legislatif.
Salah satu dalam kebijaksanaan yang dibuat oleh Residen dan wakil residen tentang  semua bekas pegawai Kasunanan dan Mangkunegaran dijadikan pegawai daerah otonom baru dan dinyatakan tidak berada lagi dibawah pimpinan Paku Buwana dan Mangkunegoro VIII, yaitu dengan melakukan pemusatan kantor-kantor Pemerintah di Surakarta. Langkah yang diambil oleh Residen Surakarta adalah dengan melakukan pembicaraan tentang penggabungan Kantor Mangkunegaran dengan Kantor Karesidenan.[1] Hal tersebut ditanggapi oleh pihak Mangkunegaran, namun kurang tepat jika hal tersebut jika dihadiri oleh Sri Paduka Mangkunegara VIII dan meminta agar pihak Residen Surakarta berhubungan langsung kepada pegawai-pegawai yang bersangkutan.
Mangkunegoro VIII yang melayangkan surat kepada Pembesar Djawatan Martoprodjo Mangkunegaran menanyakan tentang keberjalanan penggabungan Kantor Djawatan Martoprodjo Mangkunegaran beserta seluruh isinya dengan Kantor Karesidenan. Rn. Ng. Soedarjo Hardjosantoho selaku Pembesar Djawatan Martoprodjo menjelaskan bahwa kantor-kantor yang ada di Djawatan Martoprodjo Mangkunegaran setelah penggabungan, antara lain:
1.      Kantor Martoprodjo
Yang telah digabungkan dengan resmi ialah hanya yang mengenai pajak pendapatan, rumah tangga, pajak bumi, dan pajak tanah di kota-kota. Tentang urusan hasil negri lainnya seperti pajak kendaraan, pajak tontonan, wang serambi dan lainnya masih berkantor di Mangkunegaran.
2.      Kantor Martanimpoeno
 Kantor Martanimpoeno dimasukkan dalam likuidasi kantor Karesidenan.
3.      Kantor Nitiwara
Kantor ini sepenuhnya bergabung dengan kantor Komtabiliteit Karesidenan.
4.      Kantor Reksahardana
Kantor ini termasuk dalam lingkungan likuidasi kantor Karesidenan.
5.      Kantor Hamongpandojo
Menurut Kepala Kantor Hamongpandojo, kantor ini sudah bergabung dengan Balai Kota.
6.      Kantor Hanonhardono
Kantor tersebut juga sudah bergabung dengan negara.
hanya kantor Banda Pensioen dan kantor Pasinaon yang belum menggabungkan diri dan tidak dapat dijelaskan tentang likuidasi kantor.
            Dengan demikian, usaha pemusatan pemerintah yang dilakukan oleh Residen Surakarta dilakukan secara bertahap dan mendapat dukungan penuh dari pihak Mangkunegaran. Sistem Pemerintahan RI yang berangsur-angsur mengalami perubahan nantinya akan mempengaruhi struktur pemerintahan yang ada di tiap daerah di Indonesia.

Sumber :

Joeniarto. 1966. Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia. Yogyakarta: Bumi Aksara.
Kartodirjo. 1982. Kartodirjo. Kepemimpinan Dalam Sejarah Indonesia. Yogyakarta: Supersukses.
Woerjaningrat. 1986. Sekedar Uraian tentang Swapraja Surakarta.
Wajong, J. 1972. Kedudukan Dan Tugas Pamong Praja. Jakarta: Ichtiar.
Surat No. 201/3/17 tanggal 21 Oktober 1946 perihal Gabungan Djawatan Kantor-Kantor Mangkunegaran dari Pembesar Djawatan Martoprodjo Kepada Sri Paduka Mangkunegoro VIII, (Mangkunegaran: Arsip Reksopustoko).                                                                     
Surat No. 10502/0/29 tanggal 7 Oktober 1946 tentang Pemusatan Kantor-Kantor Pemerintah dari Residen Surakarta kepada Sri Paduka Mangkunegoro VIII, (Mangkunegaran: Arsip Reksopustoko, No. 719).
TAN MALAKA


Nagari Pandan Gadang berada di antara lintasan Koto Tinggi dan Manggani, merasuk ke pedalaman Bukit Barisan, 35 Km di Barat Payakumbuh, 75 Km dari Bukittinggi atau 165 Km dari Padang, Sumatera Barat. Di desa yang berlembah, permai, dan nyaman itulah Ibrahim (Tan Malaka) dilahirkan (1897) dari keluarga terpandang (pegawai pertanian Hindia Belanda).
Nama asli Tan Malaka adalah Ibrahim, sedangkan Tan Malaka adalah nama semi bangsawan yang ia dapatkan dari garis ibu. Nama lengkapnya adalah Ibrahim Gelar Datuk Sutan Malaka. Ayahnya bernama H.M. Rasad, seorang karyawan pertanian, dan Rangkayo Sinah, putri orang yang disegani di desa. Tan Malaka mempelajari ilmu agama dan berlatih pencak silat. Pada tahun 1908, ia didaftarkan ke Kweekschool (sekolah guru negara) di Fort de Kock. Menurut gurunya G.H. Horensma, Tan Malaka kadang-kadang tidak patuh, namun ia adalah murid yang pintar. Di sekolah ini, ia menikmati pelajaran bahasa Belanda, sehingga Horensma menyarankan agar ia menjadi seorang guru di sekolah Belanda.  Ia juga adalah seorang pemain sepak bola yang hebat. Ia lulus dari sekolah itu pada tahun 1913. Setelah lulus, ia ditawari gelar datuk dan seorang gadis untuk menjadi tunangannya. Namun, ia hanya menerima gelar Datuk.  Ia menerima gelar tersebut dalam sebuah upacara tradisional pada tahun 1913.
Meskipun diangkat menjadi Datuk, pada bulan Oktober 1913 ia meninggalkan desanya untuk belajar di Rijkskweekschool (sekolah pendidikan guru pemerintah), yang didanai oleh para engku dari desanya. Sesampainya di Belanda, Malaka mengalami kejutan budaya, dan pada 1915, ia menderita pleuritis. Selama kuliah, pengetahuannya tentang revolusi mulai meningkat setelah membaca de Fransche Revolutie, yang diberikan kepadanya sebelum keberangkatannya ke Belanda oleh Horensma. Setelah Revolusi Rusia pada Oktober 1917, ia semakin tertarik pada komunisme dan sosialisme, membaca buku-buku karya Karl Marx, Friedrich Engels, dan Vladimir Lenin. Friedrich Nietzsche juga menjadi salah satu panutannya. Saat itulah ia mulai membenci budaya Belanda dan terkesan oleh masyarakat Jerman dan Amerika. Dia kemudian mendaftar ke militer Jerman, Bagaimanapun, ia ditolak karena Angkatan Darat Jerman tidak menerima orang asing. Saat itulah ia bertemu Henk Sneevliet, salah satu pendiri Indische Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV, pendahulu dari Partai Komunis Indonesia). Ia juga tertarik bergabung dengan Sociaal Democratische Onderwijzers Vereeniging (Asosiasi Demokrat Sosial Guru). Pada bulan November 1919, ia lulus dan menerima ijazahnya yang disebut hulpactie.
Setelah lulus, ia kembali ke desanya. Ia kemudian menerima tawaran Dr. C.W. Janssen untuk mengajar anak-anak kuli di perkebunan teh di Sanembah, Tanjung Morawa, Deli, Sumatera Utara. Ia riba di sana pada Desember 1919, dan mulai mengajar anak-anak itu bahasa Melayu pada Januari 1920. Selain mengajar, Tan Malaka juga menulis beberapa propaganda subversif untuk para kuli, dikenal sebagai Deli Spoor. Selama masa ini, dia belajar dari kemerosotan dan keterbelakangan hidup kaum pribumi di Sumatera. Ia juga berhubungan dengan ISDV dan terkadang juga menulis untuk media massa. Salah satu karya awalnya adalah "Tanah Orang Miskin", yang menceritakan tentang perbedaan mencolok dalam hal kekayaan antara kaum kapitalis dan pekerja, yang dimuat di Het Vrije Woord edisi Maret 1920. Ia juga menulis mengenai penderitaan para kuli kebun teh di Sumatera Post. Tan Malaka menjadi calon anggota Volksraad dalam pemilihan tahun 1920, mewakili kaum kiri. Ia memutuskan untuk mengundurkan diri pada 23 Februari 1921.

A.    Pemikirian Politik
Tan Malaka adalah seorang pejuang yang militan, radikal dan revolusioner ini telah banyak melahirkan pemikiran-pemikiran yang orisinil, berbobot dan brilian hingga berperan besar dalam sejarah perjaungan kemerdekaan Indonesia. Dengan perjuangan yang gigih maka ia mendapat julukan tokoh revolusioner yang legendaris. Hal tersebut bertolak dari Tan Malaka: Pergulatan Menuju Republik 1925-1945,  ditulis oleh Harry A. Poeze ini memuat  riwayat hidup, perjuangan poltik dan perkembngan pemikiran dapat disimpulkan bahwa ada tiga makna yang terkandung dalam diri Tan Malaka. Pertama, Tan Malaka sebagai anak manusia yang mengalami suatu proses kehidupan yang penuh konflik dan dramatis. Kedua, sebagai tokoh aktifis politik yang berkembang menjadi seorang pejuang yang militan, radikal dan revolusioner. Ketiga, intelektual pemikir  yang melahirkan pemikiran-pemikiran yang orisinil, berbobot, dan brilian.
Demikian juga dapat kita ketahui dari pendapat Rudolf Mrazek – dia mempelajari Tan Malaka melalui pendekatan “struktur pengalaman seorang personalitas politik”. Dengan “struktur pengalaman”  kira-kira dimaksudkannya totalitas pola-pola kebudayaan yang terkumpul dalam diri seseorang, melalui mana ia menghayati atau memahami apa-apa yang terjadi di sekitarnya. Struktur pengalaman memberikan visi tertentu bagi seseorang tentang bagaimana melihat dan mengartikan apa-apa  yang berlaku. Seorang personalitas politik yang mengkonsepsikan dirinya dan masyarakat melalui konsepsi  yang sama dan sesuai dengan visi struktur pengalamannya, atau apa yang telah membudaya dalam dirinya.
Menurut Mrazek, struktur pengalaman  Tan Malaka adalah tipe masyarakat Minangkabau pada akhir abad yang lalu atau pemulaan abad 20 yang mempunyai “dinamisme” dan “anti parokhialisme” sebagai ciri khasnya. Melalui struktur pengalaman ini masyarakat Minangkabau mempunyai perspektif, yang sampai sekarang masih  kuat dipegang, bahwa adat dan falsafah Minangkabau memandang konflik sebagai esensi untuk mencapai dan mempertahankan perpaduan atau integrasi masyarakat. Alam Minangkabau dilihat melalui kacamata “dialektika”  yang selalu mampu menemukan keserasian dalam suasana kontradiksi. 
Disini Tan Malaka adalah termasuk salah seorang inteletual Minangkabau yang menerima visi atau idealisasi  adat dan falsafah hidup masyarakat Minangkabau tersebut. Juga proses  penyerapan unsur-unsur luar atau baru  terutama dimungkinkan oleh “konsep rantau”. Yang dapat dikatakan bahwa pergi merantau akan memberikan pengalaman dan pengetahuan baru yang didapatkannya dari luar. Dan kemana pun jauh perginya dia merantau pun akan tetap kembali ke asal. Dengan buah tangan pengalaman dan pengetahuan tersebut diharapkan dapat memainkan peranan sosial di tengah masyarakat sehingga mereka bisa ikut apa yang baik dari rantau dan membuang  apa yang buruk.
Biografi tentang "Trostky" Indonesia itu memang memiliki keunikan tersendiri, jika dibandingkan dengan Soekarno-Hatta yang terdidik, konservatif dan datar saja. Berbeda sekali dengan Tan Malaka, bahwa sifat mengembara (perantau dari Minangkabau) banyak mewarnai kehidupan politiknya. Sejak 1922 dia sudah pergi ke Belanda dan hampir menjadi anggota Parlemen, ke Jerman, pindah ke Moskow mewakili Indonesia dalam Komintern ke IV dan diangkat menjadi Kepala Biro Serikat Sekerja Timur Merah di Canton, 1924 ke Cina, 1925 ke Tokyo sambil menulis buku Menuju Republik Indonesia, ke Philipina 1925, 1927 di Bangkok mendirikan PARI, 1937 di Singapura mengajarkan bahasa Inggris. Tan Malaka  adalah satu-satunya tokoh pergerakan nasional yang  banyak bertandang ke berbagai negara.
Tan malaka adalah tipe lain dari Soekarno, Hatta, dan Sjahrir. Ia adalah seorang guru yang belajar di negeri Belanda, tetapi hidup dalam lingkungan  keluarga-keluarga buruh yang  miskin di sana. Setelah ia kembali ke Indonesia ia menjadi guru di Deli dan disana ia melihat banyak ketidakadilan. Pengalaman-pengalamnnya yang pahit  mendapatkan penyalurannya di Semarang ketika ia bertemu dengan Semaun dan kawan-kawanya pada tahun 1920-an. Waktu itu ia sakit TBC dan memerlukan perawatan. Semaun yang menjamin makanan sehat (susu) baginya dan ia aktif di PKI. Perlu dijelaskan, bahwa saat Tan Malaka bergabung dengan PKI di Semarang itu telah mampu mengorganisasikan partai tersebut secara stabil. Walaupun kemudian terdapat fraksi di tubuh partai itu, yaitu antara Tan Malaka dan tokoh-tokoh PKI seperti Semaun dan Alimin dalam mengadakan revolusi sosial. Yaitu ketika akan terjadi pemberontakan Komunis 1926, Tan Malaka tidak menyetujuinya karena situasi revolusioner di rakyat belum tercapai benar, lagi pula anggota PKI basisnya relatif sedikit dan terfokus pada kaum buruh.
Dapat dilihat bahwa pandangan nasionalisme Tan Malaka sangat kental ketimbang pandangan Komunisme. Dalam memandang Komunisme Tan Malaka tidak dogmatis atas hasil pikir dari Marx, tetapi metode berpikir Marx yang dikaitkan dengan konteks historisnya lebih dia tekankan. Kemudian dari situlah tokoh-tokoh Komunis itu menyebut Tan Malaka sebagai pengkhianat dan Trostky. Namun, Tan Malaka tidak memusingkan tuduhan tersebut karena revolusi bagi Tan Malaka mencakup segala bidang baik fisik, mental (menentang feodalisme), dan pemikiran (hal itu terlihat dalam bukunya Madilog). Revolusi bukanlah sesuatu yang dikarang dalam otak saja dan bukan lahir atas seseorang yang mahir sekalipun.

B.     Organisasi Politik
Berkembangnya pergerakan kebangsaan tahun 1920-an mendorongnya berangkat ke Jawa Tahun 1921, meninggalkanpekerjaannya yang bergaji lumayan tinggi.Perkenalannya dengan R. Soetopo seorang guru Sekolah Pertanian di Purworejo mengenalkannya dengan Sarekat Islam (SI) sertamembawanya ke kongres SI di Yogyakarta tahun 1921.
Melalui SI, ia bertemu dengan tokoh-tokoh pergerakan terkemuka, seperti Haji Oemar Said Tjokroaminoto, Haji Agoes Salim, Abdoel Moeis, Semaoen, Darsono, dll. Saat perkenalan itu Semaoen sebagai Ketua SI cabang Semarang, terkesan dengan Tan Malaka sebagai tokoh muda terpelajar yang mampu memahami islam dan marxisme dengan baik. Kehadirannya diharapkan dapat menjembati perbedaan pemahaman antara komunis dan Islam sehingga energi terbesar dalam perjuangan kemerdekaan dapat dimaksimalkan.
Seusai kongres, Semaoen mengajak Tan Malaka ke Semarang. Kedua aktivis Merah itu sepakat untuk mendirikan sekolah kerakyatan yang bertujuan untuk mendidik calon-calon pemimpin bangsa yang progresif-revolusioner dari kaum rakyat proletar. Berdirilah sekolah pertama dengan murid sebanyak 50 pada tanggal 21 Juni 1921 kemudian pada Maret 1922 sekolah sejenis telah tersebar sampai ke Bandung dengan 200 murid. Pendirian sekolah-sekolah ini sangat berhasil sehingga melambungkan nama Tan Malaka.
Tan Malaka   adalah Bapak Republik Indonesia, seorang aktifis pejuang kemerdekan Indonesia, seorang pemimpin sosialis, dan politisi yang mendirikan Partai Murba. Pejuang yang militan, radikal, dan revolusioner ini banyak melahirkan pemikiran-pemikiran yang berbobot dan berperan besar dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia. Dengan perjuangan yang gigih maka ia dikenal sebagai tokoh revolusioner yang legendaris. Walaupun berpandangan sosialis, ia juga sering terlibat konflik dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Tan Malaka pada tahun 1927 telah mendirikan PARI (Partai Republik Indonesia) yang dengan sendirinya telah keluar dari PKI (Partai Komunis Indonesia) dan seterusnya tulisan-tulisan Tan malaka sesudah tahun 1927 berkembang ke arah Nasional Revolusioner. Tahun 1921 itu juga Tan Malaka juga aktif dalam perjuangan buruh. Dia pernah menjadi wakil ketua Serikat Buruh. Pelikan (tambang) Cepu, yang didirikan Semaun. Dalam tahun ini pula Kongres PKI memilihnya menjadi ketua mewakili Semaun yang sedang berada di luar negeri. Karena kegiatannya yang terus meningkat, hingga melibatkan diri dalam pemogokan buruh, maka tanggal 2 Maret 1922, Tan Malaka akhirnya ditangkap dan dibuang ke Kupang (Timor), tapi kemudian dalam bulan ini juga keputusan dirubah menjadi externering atau pengasingan ke Negeri Belanda.
Tan Malaka menghabiskan sebagian besar hidupnya dalam pembuangan di luar Indonesia, dan secara tak henti-hentinya terancam dengan penahanan oleh penguasa Belanda dan sekutu-sekutu mereka. Walaupun secara jelas disingkirkan, Tan Malaka dapat memainkan peran intelektual penting dalam membangun jaringan gerakan sosialis internasional untuk gerakan anti penjajahan di Asia Tenggara. Tan Malaka juga seorang pendiri partai PARI dan Murba, berasal dari Sarekat Islam (SI) Jakarta dan Semarang. Ia dibesarkan dalam suasana semangatnya gerakan modernis Islam Kaoem Moeda di Sumatera Barat.

C.    Karya-Karya Tan Malaka
Karya puncak pemikiran Tan Malaka dalam Madilog, melukiskan bagaimana Tan Malaka menggeluti berbagai agama. Nilai-nilai Marxisme dia ambil secara selektif dan didasari dialektika dengan pemikiran-pemikiran lainnya, bahkan Tan Malaka pun memperhitungkan faktor-faktor masyarakat di sekitarnya.
Karya besarnya “Madilog” mengajak dan memperkenalkan kepada bangsa Indonesia cara berpikir ilmiah bukan berpikir secara kaji atau hafalan, bukan secara Text book thinking, atau bukan dogmatis dan bukan doktriner. Madilog merupakan istilah baru dalam cara berpikir, dengan menghubungkan ilmu bukti serta mengembangkan dengan jalan dan metode yang sesuai dengan akar dan urat kebudayaan Indonesia sebagai bagian dari kebudayaan dunia. Bukti adalah fakta dan fakta adalah lantainya ilmu bukti. Bagi filsafat, idealisme  yang pokok dan pertama adalah budi, kesatuan, pikiran dan penginderaan. Filsafat materialisme menganggap alam, benda dan realita nyata obyektif sekeliling sebagai yang ada, yang pokok dan yang pertama. 
Bagi Madilog (Materialisme, Dialektika, Logika) yang pokok dan pertama adalah bukti, walau belum dapat diterangkan secara rasional dan logika tapi jika fakta sebagai landasan ilmu bukti itu ada secara konkrit, sekalipun ilmu pengetahuan secara rasional belum dapat menjelaskannya dan belum dapat menjawab apa, mengapa dan bagaimana. 
Semua karya Tan Malaka dan permasalahannya dimulai dengan Indonesia. Konkritnya rakyat Indonesia, situasi dan kondisi nusantara serta kebudayaan, sejarah lalu diakhiri dengan bagaimana mengarahkan pemecahan masalahnya. Cara tradisi nyata bangsa Indonesia dengan latar belakang  sejarahnya bukanlah cara berpikir yang text book thinking dan untuk mencapai Republik Indonesia sudah dicetuskan sejak tahun 1925 lewat Naar de Republiek Indonesia (mencapai Republik Indonesia).
Karya-karya Tan Malaka selain Madilog antara lain :
  1. Parlemen atau Soviet (1920)
  2. SI Semarang dan Onderwijs (1921)
  3. Dasar Pendidikan (1921)
  4. Tunduk Pada Kekuasaan Tapi Tidak Tunduk Pada Kebenaran (1922)
  5. Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia) (1924)
  6. Semangat Muda (1925)
  7. Massa Actie (1926)
  8. Local Actie dan National Actie (1926)
  9. Pari dan Nasionalisten (1927)
  10. Pari dan PKI (1927)
  11. Pari International (1927)
  12. Manifesto Bangkok(1927)
  13. Aslia Bergabung (1943)
  14. Muslihat (1945)
  15. Rencana Ekonomi Berjuang (1945)
  16. Politik (1945)
  17. Manifesto Jakarta (1945)
  18. Thesis (1946)
  19. Pidato Purwokerto (1946)
  20. Pidato Solo (1946)
  21. Islam dalam Tinjauan Madilog (1948)
  22. Gerpolek (1948)
  23. Pidato Kediri (1948)
  24. Pandangan Hidup (1948)
  25. Kuhandel di Kaliurang (1948)
  26. Proklamasi 17-8-45 Isi dan Pelaksanaanya (1948)
  27. Dari Pendjara ke Pendjara (1970)


Sumber :
Alfian. 1977. Tan Malaka: Pejuang Revolusioner yang Kesepian. Jakarta: LP3ES.
A. Poeze, Harry. 1999. Tan Malaka: Pergulatan Menuju Republik (terjemahan cetakan I).
Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Nasir, Zulhasril. 2007. Tan Malaka dan Gerakan Kiri Minangkabau. Yogyakarta: Ombak.
Rambe, Safrizal. 2003. Pemikiran Politik Tan Malaka Kajian terhadapPerjuangan "Sang

Kiri Nasionalis". Yogyakarta: Pustaka Pelajar.