Minggu, 16 Juli 2017

TALITA KUM DI SURAKARTA

TALITA KUM DI SURAKARTA : PEJUANG DAN PEREKAT DI KOTA SUMBU PENDEK
Oleh : Ajhi Wicaksono

Perbincangan mengenai kaum Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender atau disebut LGBT merupakan suatu permasalahan yang tabu dan tak patut untuk diperbincangkan di kalangan masyarakat Indonesia. Kurangnnya pengenalan dan pengetahuan tentang pendidikan seksualitas dapat berdampak pada adanya pemahaman-pemahaman yang salah dari masyarakat Indonesia khususnya. Kaum LGBT adalah kaum terpinggirkan dan dipinggirkan. Tetapi bagaimanapun itu adalah hak atau pilihan mereka, jadi unsur argumentasi lifestyle. Jika mereka memilih lifestyle tersebut, apakah ada tekanan pihak lain? Di seluruh media baik televisi atau di iklan, mereka mengumbar gaya hidup glamor, bahkan menjadi  fashion designer dan  lain-lain. Mindset tersebut salah mendeskripsikan mereka sebagai kaum yang tidak tertindas, mereka bukan kelompok miskin, jadi mereka sebetulnya tidak perlu dilindungi oleh kebijakan-kebijakan negara. Namun, tidak sepenuhnya gambaran tersebut benar.
Di Surakarta ada usaha untuk melindungi hak-hak kaum LGBT, misalnya Talita Kum. Talita Kum adalah sebuah organisasi studi seksualitas perempuan, termasuk di dalamnya  Lesbian, Biseksual, Transgender dan FTM (Female to Male). Talita Kum ialah sebagai advocacy group kaum lesbian di Surakarta. Talita Kum termasuk dalam penguatan HAM (advocacy) kaum lesbian di Surakarta. Wadah ini didirikan pertama kali pada tanggal 8  Maret 2009 dan didaftarkan secara resmi pada tanggal 30 Juli 2010 melalui Akta Notaris No. 97 di kantor notaris Sunarto, SH Jalan Prof. Dr. Supomo 20 A Surakarta dalam bentuk  perkumpulan. Peran Talita Kum untuk  dapat  mengubah sterotype masyarakat Indonesia dan masyarakat Surakarta khususnya.
Fenomena Talita Kum ini tak terlepas dari posisi sejarah perempuan di Indonesia. penulisan sejarah perempuan di Indonesia yang relatif masih terbatas. Sejarawan masih beranggapan bahwa tema yang terkait fenomena perempuan cenderung kurang menarik. Sebagai spesialisasi dalam kajian sejarah, sejarah wanita dapat dimasukkan dalam sejarah sosial. Menyitir penelitian Kuntowijoyo, tulisan tentang wanita dapat mencerminkan dengan jelas sistem sosial tempat dan waktu wanita itu. Berawal ketika pegawai VOC tiba di Nusantara sekitar tahun 1600-an, dimulailah kemunculan para nyai. Peran perempuan yang dulunya hanya berurusan dengan dapur, ranjang serta mengurus anak berubah menjadi lebih kompleks. Sejak dulu telah ada berbagai usaha pergerakan untuk mewujudkan emansipasi wanita, seperti halnya yang diperjuangkan Kartini. Emansipasi dalam konteks memajukan dan memberdayakan perempuan melalui pendidikan menjadi jalan bagi pengentasan keterbelakangan dan rasa kebodohan perempuan.
Beralih pada zaman industrialisasi sekarang ini, terjadi perubahan tataran berpikir warga desa yang makin urbanized (terkotakan) maupun status kelas mereka, telah merelatifkan jarak budaya antara desa dan kota. Perpindahan penduduk dari desa untuk bekerja sebagai buruh di kota memang lebih banyak didasarkan pada kepentingan mendesak untuk tetap bertahan hidup, keluar dari alam dan lembah kerentanan ekonomi pedesaan. Artinya, sebagian besar warga desa, khususnya kaum perempuan mengalami perubahan status cukup drastis dari semula sebagai penggarap tanah, buruh tani, atau pemilik warung kecil-kecilan menjadi kelas pekerja yang bekerja di beberapa kawasan industri di wilayah perkotaan. Hal-hal tersebut membawa sejumlah implikasi yang tidak hanya menyinggung kepentingan ekonomi semata tetapi juga merambah pada gaya hidup.
Gaya hidup perempuan Indonesia tidak luput dari masalah budaya konsumerisme. Perempuan memiliki kecenderungan lebih konsumtif terhadap berbagai hal. Sejalan dengan itu, berbagai usaha yang berkaitan dengan kebutuhan perempuan semakin berkembang. Hal ini didorong dengan kemajuan media periklanan yang sudah maju sejak tahun 1870. Media periklanan menawarkan beberapa produk spesial yang berfungsi untuk menunjang gaya hidup perempuan perkotaan seperti fashion dan asesories, parfum dan toiletries, perabot rumah tangga, dan beberapa kebutuhan lainnya.
Perempuan yang ditampilkan dalam iklan sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya patriarki yang hanya menjadikan perempuan sebagai pendamping pria dari mulai remaja sampai usia lanjut. Dalam iklan, perempuan diidentifikasikan dengan kegiatan memasak, perawatan tubuh, bentuk tubuh proporsional, kulit putih, cantik, rambut lurus dan panjang. Media, terutama iklan sangat berpengaruh kuat dalam menentukan deskripsi dan persepsi mengenai wanita yang seolah-olah didambakan dalam masyarakat. Iklan-iklan yang secara tidak langsung mendiskreditkan wanita yang dianggap tidak memenuhi kriteria tubuh ideal wanita dewasa, sehingga kemudian berpengaruh terhadap anggapan yang semakin berkembang, dimana wanita dengan tubuh tidak langsing, atau tidak berkulit putih dan tidak berambut lurus bukan tipe perempuan ideal yang diidamkan laki-laki dan tidak mendapatkan tempat dalam media.
Pada akhirnya, remaja putri pun sering menjadi sasaran, baik sebagai model maupun target pasar dari iklan produk-produk yang ditawarkan. Sekarang ini banyak model-model iklan yang menampilkan model remaja, supaya menarik remaja lainnya untuk meniru penampilan model iklan yang berusia sama. Produk yang ditawarkan pun sengaja dilabelkan seolah-olah khusus untuk remaja yang aktif, cantik, dan trendy. Sebagai target pasar, remaja sangat potensial sebagai konsumen, karena dalam usia remaja, perasaan selalu ingin tampil menarik lawan jenis sangat mendominasi kepribadiannya. Sehingga para remaja putri, berlomba-lomba membeli produk yang ditawarkan untuk tampil cantik dan menarik ala model, demi menunjukkan eksistensinya di depan remaja pria
Melalui media iklan, perempuan terpengaruh dengan apa yang disajikannya dalam segala aspek kehidupan. Adapun aspek kehidupan yang dipengaruhi oleh media iklan pun beragam, mulai dari sisi ekonomi, pendidikan, pergaulan, gaya hidup, persepsi serta pola pikir, sampai pada dalam urusan penampilan dan citra diri. Berbagai macam cara dilakukan orang-orang untuk bisa menunjukkan jati dirinya masing-masing, salah satunya adalah cara berpakaian, Perubahan cara berpakaian atau fashion kaum perempuan dikaitkan dengan faktor-faktor sosio kultural masyarakat. Maksudnya adalah perubahan gaya berpakaian perempuan dalam berbagai kesempatan ditunjang ataupun dibatasi oleh kondisi kekinian masyarakat.
Perempuan Indonesia tempo dulu digambarkan sebagai perempuan dengan kebudayaan Jawa dengan image khusus seperti kain batik, bersanggul atau konde, dan mengenakan kebaya. Busana tradisional perempuan Jawa mendapat pengaruh yang cukup besar dari kehidupan kraton. Namun dengan gencarnya invasi teknologi Barat era sekarang, berbagai budaya asing termasuk budaya dalam busana wanita telah menjamur di Indonesia. Dengan alasan trend masa kini, perempuan lebih memilih mengenakan model pakaian serba minim seperti baju mini, rok mini atau celana pendek.
Tayangan televisi Indonesia adalah media yang memberikan suguhan supaya dapat mempengaruhi publik. Sayangnya, tayangan seperti sinetron Indonesia sering kali mempertontonkan hal seronok. Sebagai contoh, ada tayangan yang menggambarkan para pelajar sekolah menggunakan seragam rok mini, baju ketat dan kegiatannya hanya pacaran. Jelas ini mempengaruhi remaja putri di kehidupan nyata karena mindset mereka bahwa hal tersebut termasuk modis dan trend masa kini. Inilah merupakan pengaruh budaya luar yang jauh dari etika ketimuran.
Perubahan-perubahan sosial yang serba cepat dan perkembangan yang tidak sama dalam kebudayaan, mengakibatkan ketidakmampuan banyak individu untuk menyesuaikan diri. Hal ini mengakibatkan timbulnya disharmoni, konflik-konflik eksternal maupun internal dan juga disorganisasi dalam masyarakat serta diri pribadi. Peristiwa-peristiwa tersebut memudahkan individu menggunakan pola-pola respon atau reaksi yang menyimpang dari pola-pola umum yang berlaku. Berbagai kompleksitas permasalahan kalangan perempuan di Indonesia, seperti pecandu narkoba, perdagangan manusia hingga topik panas mengenai prostitusi online di kalangan wanita dan lesbian.
Lesbian merupakan suatu bentuk dari penyimpangan perkembangan psikoseksual,  dimana perempuan tersebut hanya menyukai sesama jenisnya, bukan terhadap lawan  jenisnya. Fenomena lesbian di dunia internasional berkembang dan menyebar secara cepat. Di era globalisasi saat ini, banyak negara-negara di dunia internasional yang secara de jure menerima adanya kaum lesbian dan adanya praktek-praktek pernikahan sesama jenis. Pergerakan lesbian di Indonesia sejatinya telah terjadi puluhan tahun yang lalu dan  bergerak dengan cepat. Akan tetapi pergerakaan ini dipersempit dengan kuatnya nilai budaya, moral dan agama di Indonesia.
Banyak perempuan lesbian beranggapan bahwa mereka menjadi seorang lesbian  sejak lahir, sedangkan ada yang menganggap bahwa menjadi lesbian adalah pilihan  hidupnya. Lesbianisme didefinisikan tidak hanya faktor alamiah, namun lebih kepada masalah preferensi seksual berdasarkan pengalaman.  Hal tersebut dapat terjadi setiap saat, ketika beranjak remaja, dewasa, saat menjadi orang tua atau di masa tua. Perempuan lesbian  tidak mengenal kelas sosial. Mereka  bisa dari kalangan atas, menengah, bawah, dialami oleh model, aktris, orang yang sudah bekerja atau remaja yang masih sekolah.
Individu yang memiliki orientasi seksual sebagai seorang lesbian ingin diakui keberadaannya di masyarakat. Namun, pengakuan tersebut membutuhkan kesiapan dalam diri dan proses yang panjang. Hal ini dikarenakan masyarakat hidup dalam era heteronormatifitas dan gender biner, dimana hubungan yang disetujui oleh masyarakat adalah hubungan heteroseksual, yaitu ketertarikan dengan lawan jenis. Gender biner merupakan konsep yang  mengatur hak dan kewajiban seseorang  berdasarkan seks biologisnya. Konstruksi gender untuk laki-laki diidentikkan dengan sifat maskulinitas dan konstruksi gender untuk  perempuan  diidentikkan  dengan  sifat  femininitas. Era heteronormatifitas dan gender biner tersebut mengakibatkan individu yang memiliki orientasi seksual sebagai seorang lesbian merasa tertutup dan enggan untuk membuka diri.
Kota Solo atau Surakarta dikenal sebagai kota sumbu pendek, rawan munculnya konflik. Citra negatif itu dilekatkan oleh publik lantaran di Solo ditemukan sederet fakta  historis peristiwa konflik. Meski masyarakatnya dipandang ramah dan lembut, jika tersulut  sedikit saja, kerusuhan gampang meletus. Kasus LGBT di Surakarta rawan memicu konflik di kota ini. Oleh karena itu, tugas Talita Kum adalah sebagai wadah penengah bagi kaum LGBT. Talita Kum berkecimpung dalam pemenuhan hak-hak LGBT sebagai fokus utama, khususnya kaum lesbian. Kegiatan yang dilakukan pada organisasi Talita Kum Surakarta, seperti seminar yang membahas isu gender, seksualitas dan LGBT. Selain itu, organisasi ini juga mengadakan kegiatan olahraga dan kegiatan lain untuk mengakrabkan para anggota. Intinya, hal ini membuktikan terhadap masyarakat luas,  utamanya masyarakat Indonesia bahwa perbedaan dan keberagaman adalah anugerah.  Keberadaannya harus disikapi dengan arif, demi mengokohkan persatuan dan kesatuan bangsa.